MATERI DAN PENILAIAN HARIAN 2 BAB 10 KELAS XI SEJARAH INDONESIA PERJUANGAN DIPLOMASI


 

#MateriSejarahIndonesia Setelah kegiatan pembelajaran 2 BAB 10 Kelas XI ini kalian diharapkan mampu :
1. Menjelaskan strategi dan upaya mempertahankan kemerdekaan dengan perjuangan diplomasi
2. Serta membuat laporan tertulis tentang strategi dan upaya mempertahankan kemerdekaan dengan perjuangan diplomasi  
 
 
Upaya bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan tidak hanya sebatas perjuangan angkat senjata saja. Lebih dari itu lewat tokoh-tokoh terpelajar dan negosiator-negosiator ulung yang dimiliki bangsa Indonesia bisa dibilang sukses besar mengantarkan bangsa Indonesia terbebas dari upaya penjajahan kembali yang dilakukan Belanda. 

Bagaimana kiprah para tokoh-tokoh negosiator ulung kita dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia?, Akan kita pelajari bersama pada materi berikut ini. 


1. PERJANJIAN LINGGAR JATI
Untuk menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda maka pada 10 November 1946 diadakan perundingan di Linggar Jati , Jawa Barat.



Pihak Indonesia dipimpin oleh dr. Sudarsono, Jenderal Sudirman, dan Jenderal Oerip Soemohardjo. 

Inggris mengirim Lord Killearn sebagai penengah setelah komisi gencatan senjata terbentuk. 

Pihak Belanda diwakili oleh Prof. S. Schermerhorn dan Dr. Hj. Van Mook. 

Isi persetujuan Linggar Jati. Setelah naskah perjanjian ditandatangani, muncul pro dan kontra dimasyarakat mengenai hasil perundingan tersebut. 

Tanggal 25 Maret 1947 pihak Indonesia menyetujui perjanjian Linggar Jati.
 

Hasil perundingan tersebut menghasilkan 17 pasal yang antara lain berisi:
1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura
2. Belanda  harus     meninggalkan wilayah RI     paling     lambat tanggal 1 Januari 1949.
3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam persemakmuran Indonesia-Belanda dengan Belanda sebagai kepala Uni Indonesia-Belanda
 
2. PERUNDINGAN RENVILLE   
Berdasarkan Keputusan Kerajaan Belanda No. 51 tanggal 15 Desember 1947, wakil- wakil pemerintah Belanda yang hadir   dalam perundingan diatas kapal perang Amerika , Renville dengan penuh kehati-hatian menghindari kata “delegasi”. 


 

Ini untuk menjelaskan bahwa persoalan Indonesia adalah masalah dalam negeri. Oleh karena itu, Keputusan Kerajaan Belanda menyebut “penunjukkan suatu komisi untuk melakukan pembicaraan-pembicaraan sesuai Resolusi DK PBB tanggal 25 Agustus 1947.  

Hasil dari perundingan Renville adalah :
1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda .
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur

3. PERJANJIAN ROEM ROYEN
Pada bulan pertama tahun 1949 karena didesak oleh Dewan Keamanan PBB, Belanda mengadakan pendekatan-pendekatan politis dengan Indonesia. 


 

Perdana Menteri Belanda Dr. Willem Drees mengundang Prof. Dr. Supomo untuk berunding. Undangan itu diterima dan merupakan pertemuan pertama antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda sejak tanggal 19 Desember 1948.

Pertemuan antara Perdana Menteri Dr. Willem Drees dengan Prof. Dr. Supomo tidak diumumkan kepada masyarakat sehingga bersifat informal. 

Pertemuan lainnya yang bersifat informal adalah antara utusan BFO yaitu Mr. Djumhana dan Dr. Ateng dengan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 21 Januari 1949.

Hasil pembicaraan secara mendetil dari pertemuan-pertemuan itu tidak pernah diumumkan secara resmi, kecuali diberitakan oleh harian Merdeka pada 19 Januari 1949 dan 24 Januari 1949.

Namun demikian dari pertemuan informal tersebut .dicapai kesepakatan antara RI dengan BFO yang disampaikan Moh.Roem bahwa bahwa RI bersedia berunding dengan BFO di bawah pengawasan Komisi PBB dalam suatu perundingan formal.

  
Pada tanggal 13 Februari 1949 Wakil Presiden Mohammad Hatta secara resmi menyatakan pendapatnya bahwa perundingan dapat saja dilakukan dengan syarat dikembalikannya pemerintah RI ke Yogyakarta dan pengunduran pasukan Belanda dari wilayah RI sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 24 Januari 1949. 


Pendirian Wakil Presiden Mohammad Hatta kemudian disetujui dan didukung oleh delegasi BFO.

Berdasarkan kenyataan dan penjajagan politis yang dilakukan oleh Belanda terhadap para pemimpin Indonesia diperoleh kesimpulan bahwa pada   umumnya bersedia berunding. Oleh karena itu, Belanda pada tanggal 26 Pebruari 1949 mengumumkan akan mengadakan Konferensi Meja Bundar pada tanggal 12 Maret 1949. 

KMB akan diadakan dengan diikuti oleh Belanda, Indonesia dan negara-negara bentukan Belanda guna membicarakan masalah Indonesia seperti syarat-syarat penyerahan kedaulatan dan  pembentukan Uni Indonesia Belanda. 


Pemerintah Belanda mengutus Dr. Koets sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda pada tanggal 28 Pebruari 1949 untuk menemui Ir. Sukarno beserta beberapa pemimpin RI yang masih ditawan di Pulau Bangka untuk menyampaikan rencana KMB. 

Pada tanggal 3 Maret 1949 Presiden Sukarno mengadakan pembicaraan dengan penghubung BFO tentang perlunya pengembalian kedudukan pemerintah RI sebagai syarat diadakannya perundinagn sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 4 Maret 1949 Presiden Sukarno membalas undangan Wakil Tinggi Mahkota Belanda. 


Undangan menghadiri KMB yang dimaksud oleh Dr. Koets tentu saja bukan undangan pribadi kepada Ir. Sukarno, melainkan undangan untuk pemerintah Indonesia. Oleh karena itu Presiden Sukarno menyampaikan bahwa RI tidak mungkin berunding tanpa pengembalian pemerintahan ke Yogyakarta. 

Dengan demikian maka sebelum perundingan dimulai, secara tidak langsung Belanda harus sudah mengakui bahwa RI masih tegak berdiri. Sementara itu pihak BFO juga mengeluarkan surat pernyataan yang berisi pemberitahuan bahwa BFO tetap dalam pendirian semula. 

Komisi PBB untuk Indonesia pada tanggal 23 Maret 1949 memberitahukan kepada Belanda bahwa Komisi PBB telah bekerja sesuai dengan resolusi Dewan KeamnaanPBB tanggal 28  Januari 1949 dan  tidak merugikan tuntutan kedua belah pihak. 


Delegasi Republik dipimpin oleh Mr. Moh. Roem sebagai Ketua dan Mr. Ali Sastroamijoyo sebagai     wakil     ketua.     Anggota-anggotanya adalah : Dr. J. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Dr. Supomo, Mr. Latuharhary disertai lima orang penasehat. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. Van Royen, dengan anggotaanggotanya Mr. N.S. Blom, Mr. A.S. Jacob,   Dr. J.J. Van der Velde dan empat orang penasehat. 

Perundingan   dimulai pada 14 April 1949 yang dilakukan oleh Mr. Moh. Roem (Indonesia) dengan Dr. Van Roijen (Belanda) dengan mediator Merle Cochran (anggota UNCI dari AS). Perundingan ini dilakukan di Hotel  Des Indes (Hotel Duta Merlin Jakarta, sekarang). 


Perundingan   berlarut-larut dan sempat terhenti   sampai 1 Mei 1949 karena terjadinya perbedaan pendapat yang tajam. Pemerintah Belanda menghendaki agar RI menghentikan gerakan gerilya oleh pejuangnya, bersedia menghadiri KMB dan bersedia bekerjasama menciptakan keamanan dan ketertiban, barulah pemerintahan dan pemimpin RI yang ditahan Belanda dibebaskan. 


Karena perundinagn berjalan sangat lamban, bahkan hampir mengalami jalan buntu,  pada tanggal 24 April 1949 Drs. Mohammad Hatta datang ke Jakarta. Pihak RI menempuh  cara  lain  yakni  mengadakan  perundingan  informal  dan  langsung dengan pihak Belanda disaksikan Merle Cochran. 

Pada tanggal 25 April 1949 diadakan pertemuan informal pertama antara Drs. Moh. Hatta dengan ketua delegasi Belanda Dr. Van Royen. Hasil pertemuan ini tidak diumumkan, namun Wakil Presiden Moh. Hatta menyatakan bahwa pertemuan informal itu untuk membantu memberikan penjelasan kepada delegasi Belanda. 


Anggota UNCI dari AS Merle Cohran mendesak Indonesia agar dapat menerima usulan Belanda dengan kompensasi bantuan ekonomi setelah pengakuan kedaulatan, tetapi sebaliknya mengancam untuk tidak memberi bantuan apapun kepada Indonesia apabila pihak RI tidak bisa melanjutkan perundingan. Selanjutnya masingmasing pihak mengeluarkan pernyataan. 

Persetujuan ini sebenarnya hanya berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang masing-masing menyetujui pernyataan pihak lainnya. Isi pernyataan ini ditanda tangani pada 7 Mei 1949 oleh ketua perwakilan kedua negara yaitu Mr. Moh. Roem dan Dr. Van Roiyen, oleh karena itu terkenal dengan sebutan Roem Royen Statemens.

Turut serta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan  yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, yang tidak bersyarat. 

Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta akan berusaha mendesak supaya politik demikian diterima oleh pemerintah Republik Indonesia selekas-lekasnya setelah dipulihkan di Yogyakarta. 

Bunyi statement Roem-Royen:  
1. Sesuai dengan resolusi DK PBB, Indonesia menyatakan kesanggupannya untuk menghentikan perang gerilya.  
2. Bekerjasama mengembalikan dan menjaga keamanan dan ketertiban.
3.Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dengan tidak bersyarat.  
 
4. STATEMENT DELEGASI BELANDA (Diucapkan oleh Dr. Van Royen)  
Delegasi Belanda diberi kuasa menyatakan bahwa, berhubungan dengan kesanggupan yang baru saja diucapkan oleh Mr. Roem, ia menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Sebagai tindak lanjut dari persetujuan Roem- Royen, pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan formal antara RI, BFO dan Belanda di bawah pengawasan komisi PBB, dipimpin oleh Critchley (Australia). 

Hasil perundingan itu adalah:
1. Pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 1949. Karesidenan Yogyakarta dikosongkan oleh tentara Belanda pada tanggal 1 Juli 1949 dan pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI menguasai keadaan sepenuhnya daerah itu.  
2. Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta.
3. Konferensi Meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag.

Setelah para pemimpin RI berkumpul kembali di Yogyakarta, maka pada tanggal 13 Juli 1949 jam 20.30, diadakan sidang Kabinet RI yang pertama. 


Pada kesempatan itu, Mr. Sjafrudin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden/Perdana Menteri Moh. Hatta. 


Sedangkan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) mendukung pemerintah RI dengan syarat. 

Pada tanggal 6 Juli 1949, pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta, yang sudah ditinggalkan oleh pasukan pasukan Belanda pada akhir bulan Juni. 

Jenderal Soedirman dan pimpinan-pimpinan tentara lainnya enggan mengakui kekuasaan sipil yang mereka anggap telah meninggalkan Republik. 

Pada tanggal 1 Agustus, diumumkanlah genjatan senjata yang akan mulai berlaku di Jawa pada tanggal 11 Agustus dan Sumatera pada tanggal 15 Agustus.

Dengan disepakatinya prinsip-prinsip Roem-Royen tersebut, pemerintah darurat RI di Sumatra memerintahkan kepada Sultan Hamengkubowono IX untuk mengambilalih pemerintahan di Yogyakarta apabila Belanda mulai mundur dari Yogyakarta. 

Partai politik yang pertama kali menyatakan setuju dan menerima baik tercapainya persetujuan Roem-Royen adalah Masyumi. Dr. Sukiman selaku ketua umum Masyumi menyatakan bahwa sikap yang diambil oleh delegasi RI adalah dengan melihat posisi RI di dunia internasional dan di dalam negeri sendiri, apalagi dengan adanya sikap BFO yang semakin menyatakan hasratnya untuk bekerjasama dengan RI. 

Sedangkan Mr. Surjono Hadinoto, ketua umum PNI menyatakan bahwa Persetujuan Roem-Royen merupakan satu langkah ke arah tercapainya penyelesaian dari masalah-masalah Indonesia.  
 
5. KONFERENSI MEJA BUNDAR  (KMB) dan PENGAKUAN KEDAULATAN   
 

Pimpinan TNI Kembali ke Kota Yogyakarta.  
Masuknya TNI dan para pemimpin yang kembali dari pengasingan ke Yogyakarta diperingati sebagai Hari Yogya Kembali, yang akhirnya juga diabadikan dengan Monumen Yogya Kembali.Itu berarti Monumen Yogya Kembali bukan hanya untuk mengabadikan kembalinya TNI ke Yogyakarta, tetapi juga kembalinya pemimpin bangsa. 


Dari fakta sejarah justru nampak bahwa pembangunan monumen ini tidak langsung berkaitan dengan perisrtiwa Seranfgan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol Suharto. 


Selama ini kita selalu berpendapat bahwa pembangunan Monumen Yogya Kembali untuk memperingati Serangan Fajar yang berhasil merebut Kota Yogyakarta selama 6 jam.
   
Konferensi Inter Indonesia  
Hubungan antara pemimpin-pemimpin BFO dan Republik Indonesia, pertama kali dijalin pada 1949 ditempat pengasingan di Bangka.waktu itu, pembentukan negara federal Indonesia Serikat masih kabur kerena syarat mutlak pembebasan para pemimpin Republik Indonesia belum dilaksanakan. 

Pemimpin-pemimpin BFO masih ragu-ragu terhadap kekuatan perlawanan gerilyawan terhadap tentara Belanda yang dianggapnya akan mengalami kegagalan. Untuk menyelamatkan kedudukan sebagai pemimpin di negaranya masing-masing pemimpin-pemimpin BFO mengadakan siasat yang dapat memberi jaminan negara-negara BFO yang akan menjadi negara bagian dalam Negara Indonesia Serikat. 

Mereka yakin bahwa perundingan Konferensi Meja Bundar akan menghasilkan pembentukan Negara Indonesia Serikat yang berdaulat penuh atas pertimbangan faktor-faktor. 

Untuk menyamakan persepsi dan pemahaman serta menyatukan langkah menghadapi Belanda dalam KMB, negara-negara bagian dan RI mengadakan konferensi bersama. Konferensi ini diadakan di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 dan dilanjutkan di Jakarta pada 30 Juli-2 Agustus 1949. 

Pemilihan kedua kota ini atas pertimbangan bahwa Yogyakarta merupakan wilayah negara RI sedangkan Jakarta termasuk daerah negara bagian. Dengan demikian tercipta sikap saling menghargai dan sejajar. 


Delegasi BFO untuk menghadiri Konferensi Antar Indonesia tahap pertama yang diselenggarakan di istana negara Yogyakarta, dipimpin oleh Sultan Hamid Alkadrie ( Sultan Hamid II ) dari Pontianak. 

Kedatangan mereka disambut sangat gembira oleh masyarakat Yogyakarta sehingga timbul kesan bahwa kecurigaan sudah musnah sama sekali. 

Konferensi tahap pertama membahas ketatanegraan Indonesia bertalian dengan maksud mendirikan Negara Indonesia Serikat. 

Keputusan Konferensi Inter Indonesia adalah :
a. Agustus ditetapkan sebagai Hari Nasional Negara RIS
b. Bendera Merah Putih sebagai bendera RIS
c. Lagu kebangsaan RIS adalah Indonesia Raya
d. Bahasa Nasional RIS yaitu Bahasa Indonesia
 
 
Detik-Detik Menjelang dan Pelaksanaan Konferensi Meja Bundar  
 
Tindak lanjut mempersiapkan penyelenggaraan konferensi meja bundar (KMB) di Den Haag, negeri Belanda, perdana menteri NIT  Anak Agung Gede Agung, yang merangkap sebagai wakil ketua pertemuan musyawarah federal (PMF, yang lebih dikenal BFO) menyarankan agar sebelum diselenggarakan KMB, terlebih dahulu diadakan suatu konferensi antara BFO dan RI. 

Maksudnya ialah, untuk membentuk suatu rekonsiliasi antara pemimpin-pemimpin RI dan wakil-wakil negara bagian dan daerah-daerah di luar wilayah kekuasaaan RI, karena adanya perselisihan paham dan jurang pemisah antara mereka akibat politik memecah belah pemerintah Belanda. Selain itu, agar tercapai kerjasama dan kekompakan menghadapi Belanda selama pembicaraan pada sidang KMB. 

Dari tanggal 23 Agustus sampai tanggal 2 November 1949, konferensi Meja Bundar diselenggarakan di Den Haag. Hatta mendominasi pihak Indonesia selama berlangsungnya perundingan-perundingan dan semua peserta mengaguminya. 


Suatu uni yang longgar antara negeri Belanda dan RIS disepakati dengan Ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis. 


Soekarno akan menjadi presiden RIS dan Hatta sebagai perdana menteri (1949-1950) merangkap wakil presiden. 

Pada tanggal 27 Desember 1949, negeri Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia, tidak termasuk Papua, kepada RIS, sebuah Negara federal yang hanya bertahan secara utuh selama beberapa minggu saja. 


Pada tanggal 31 Oktober 1949 delegasi RI dan BFO menerima usul yang bersifat kompromi dari UNCI tentang status Irian Barat. Semula soal ini sangat pelik dan  hampir buntu dari penyelesaian, akhirnya bersedia menerima usulan UNCI walaupun  lebih merugikan Indonesia.


Usulan UNCI adalah masalah Irian Barat ( Niew Guineo ) akan diselesaika setahun setelah penyerahan kedaulatan antara RIS dengan Kerajaan Belanda.
Setelah masalah Irian Barat disetujui RI dan BFO maka pada 2 November 1949 , KMB ditutup oleh Ratu Juliana.

Pengesahan Hasil KMB  
Berdasarkan hasil KMB maka   daerah-daerah bekas jajahan Hindia Belanda yang sejak 17 Agustus 1945 diproklamasikan sebagai Republik Indonesia  dengan bentuk kesatuan, sejak 17 Desember 1949 berubah menjadi negara federal dengan nama Republik Indonesia Serikat. 


 


Sementara itu,  RI hanya merupakan negara bagian dari RIS dengan wilayah Yogyakarta. Republik Indonesia Serikat adalah sebuah Negara federal tergabung di dalamnya 15 negara bagian yang telah didirikan Belanda selama 3 tahun sebelumnya di wilayah yang didudukinya, sebagai taktik devide et impera untuk melawan Republik Indonesia. 

Dengan dibentuknya RIS, disahkanlah Konstitusi RIS 1949 di Gedung Proklamasi, Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta pada 14 Desember 1949. 

Selanjutnya pada 16 Desember 1949 di Yogyakarta dilakukan pemilihan  Presiden RIS. Terpilihkah  Presiden  Sukarno  yang  dilantik  pada  18 Desember 1949, dan Bung Hatta menjadi Perdana Menteri yang kemudian membentuk zaken cabinet RIS.  


Hasil-hasil persetujuan yang tercapai dalam perundingan antara delegasi Indonesia dan Belanda di Den Haag, walaupun tidak memuaskan sepenuhnya, dan masih banyak mengandung kekecewaan terutama mengenai soal Irian dan ekonomi/keuangan tak dapat dikatakan memenuhi syarat yang penting untuk meneruskan perjuangan rakyat mencapai cita-citanya, dengan adanya pengakuan kedaulatan de facto dan de jure bukan saja oleh negeri Belanda, melainkan sekarang nyatanya juga oleh beberapa negara besar dan kecil.  


Persetujuan KMB menimbulkan pro dan kontra, hal ini sangat lumrah karena satu persetujuan mesti ada segi-segi kompromi. Presiden Sukarno memberi persetujuan tetapi menyesalkan mengapa Irian Barat dibiarkan belum masuk, dengan begitu wilayah Negara Proklamasi masih belum lengkap.  

Walaupun menimbulkan banyak ketidakpuasan, KMB menurut pemerintah merupakan hasil perjuangan diplomasi maksimal yang dapat dicapai pada waktu itu. Oleh karena itu agar hasil KMB bisa dilaksanakan maka memerlukan persetujuan dari wakil-wakil rakyat yang duduk dalam Komite Nasional Indonesia Pusat.   

     
Sekembalinya ke tanah air, Perdana Menteri Hatta memberikan laporan kepada kabinet hasil perundingan Konferensi Meja Bundar dalam sidang kabinet tanggal 16 November 1949. 

Dengan suara bulat, kabinet menerima hasil perundingan dan menyarankan agar secepatnya dimintakan pengesahan pleno KNIP. Tanggal 7-15 Desember, KNIP mengadakan sidang pleno untuk mendengarkan tanggapan para anggotanya terhadap keterangan pemerintah tentang hasil KMB yang dimintakan pengesahan. 

Akhirnya, hasil-hasil KMB diterima dengan suara 226 berbanding 62 dan 31 blangko. 

Golongan yang tidak setuju adalah golongan komunis dan partai Murba. Golongan Partai Sosialis Indonesia memberikan suara blangko. 

Di Nederland, piagam persetujuan KMB disahkan pada tanggal 14 Desember dengan suara 71 berbanding 29 di Dewan Perwakilan Rakyat (kamar kedua) dan 34 berbanding 15 di Dewan Senat (kamar pertama). 

Terkait pengesahan piagam persetujuan KMB oleh sidang KNIP di atas, tanggal 16 Desember dilangsungkan pemilihan presiden untuk Republik Indonesia Serikat di Gedung Kepatihan Yogyakarta oleh wakil-wakil 16 negara bagian.         


Selanjutnya KNIP   mengadakan sidang   untuk memilih presiden dan wakil presiden RIS. Terpilihlah Ir. Sukarno sebagai Presiden RIS dengan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta. 

Presiden Sukarno yang pada tanggal 17 Desember 1949 dilantik sebagai presiden RI yang pertama, pada tanggal 28 Desember 1949 pindah dari Yogyakarta  ke  Jakarta,  diikuti  oleh  pemerintah  seluruhnya.  

Pada  tanggal  19 Desember 1949,  Kabinet RIS  yang pertama dibentuk  Mohamad Yamin  sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Pertahanan, Anak Agung Gde Agung sebagai Menteri Dalam Negeri, Syafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan, Ir. Juanda sebagai Menteri Kemakmuran, Ir. Laoh sebagai   Menteri Perhubungan, Prof. Mr. Supomo sebagai Menteri Kehakiman, Dr. Abu Hanifah sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. J. Leimena sebagai Menteri Kesehatan. 

Pada tanggal 23 Desember 1949 delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Moh. Hatta berangkat ke Belanda untuk menerima pengakuan kedaulatan dari Ratu Belanda. 

Di waktu yang sama, HVS. Loving menghadap Presiden Soekarno di Jogjakarta untuk mohon diri sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda terakhir. 

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Jogjakarta Mr. Assaat disumpah sebagai pemangku jabatan sementara jabatan Presiden Republik Indonesia. Sejak saat itu  segala perlengkapan dan aparatur negara RIS dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. 

Pada 27 Desember 1949 pemerintah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia tidak termasuk Irian Barat kepada pemerintah RIS dan membebaskan seluruh tahanan politik  yang berjumlah sekitar 12.000 orang.  
 

Rangkuman
1.Perjuangan diplomasi bangsa Indonesia diawali dengan perundingan Linggar Jati yang membuat wilayah Indonesia menyempit hanya terdiri dari Sumatra, Jawa, dan Madura    
2.Perundingan Renville semakin mempersempit wilayah Indonesia menjadi Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra
3.Perundingan Roem Royen hasilnya Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta, dan akan diadakan Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dengan Belanda
4.Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan solusi yang ditawarkan oleh UNCI untuk mengakhiri konflik Indonesia-Belanda. Melalui KMB inilah tercapai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh belanda pada 27 Desember 1949.  

Silahkan kerjakan Penilaian Harian berikut ini !