Pada postingan ini kami sajikan materi Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XII
Kompetensi Dasar pada bab ini adalah :
1.2 Menghayati nilai Islam dalam membentuk sikap cinta tanah air dan bela Negara
1.4 Menghayati bahwa syariat Islam adalah dasar pembentukan kerajaan Islam yang mampu memperkokoh persatuan dan
kesatuan Indonesia
2.2 Mengamalkan sikap gigih, toleran dan tanggung jawab dalam mencintai dan membela tanah air
2.4 Mengamalkan sikap tasamuh dan cinta damai
3.2 Menganalisis sejarah kerajaan Islam di Indonesia
3.4 Menganalisis peranan kerajaankerajaan awal Islam terhadap perkembangan Islam di Indonesia
4.2 Menyimpulkan keterkaitan sejarah kerajaan-kerajaan Islam dengan pembentukan sikap cinta tanah air dan bela negara di Indonesia
4.4 Menilai peranan kerajaan-kerajaan awal Islam terhadap perkembangan Islam di Indonesia
Tujuan Pembelajaran
1. Peserta didik mampu menyusun skema pemimpin kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Gowa, Ternate, dan Nusa Tenggara.
2. Peserta didik mampu mengidentifikasi sebab-sebab kemajuan dan kemunduran kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Gowa, Ternate, dan Nusa Tenggara.
3. Peserta didik mampu mengidentifikasi peranan kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Gowa, Ternate, dan Nusa Tenggara dalam menyebarkan Islam.
4. Peserta didik mampu menyimpulkan hikmah keteladanan dari kegigihan dan kepemimpinan kerajaan-kerajaan Islam di di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Gowa, Ternate, dan Nusa Tenggara.
Berbagai jenis dan bentuk benda maupun artefak sebagai bukti kehadiran agama Islam di seluruh wilayah Indonesia.
Sejarah mencatat perkembangan kerajaan-kerajaan Islam pada awal abad ke XIII hingga XVI ada di bumi Indonesia, mulai dari kerajaan Samudra Pasai di Aceh pulau Sumatra, kerajaan Demak, Mataram di pulau Jawa hingga kesultanan Gowa-Tallo di Sulawesi.
Keberadaan kerajaan dan kesultanan Islam memberi dampak yang luas terhadap perkembangan agama Islam dan terbentuknya sosial budaya masyarakat Indonesia.
A. Kerajaan Islam di Sumatra
Agama Islam di Indonesia dapat berkembang dengan pesat, di antaranya melalui kekuasaan, hal ini mendukung semakin luasnya ajaran Islam. Secara perlahan-lahan tapi pasti, agama Islam mulai dianut oleh para penguasa pelabuhan lokal. Islam telah memberikan identitas baru sebagai simbol perlawanan terhadap penguasa pusat yang
Hindu di pedalaman.
Berangkat dari kerajaan kecil berbasis maritim kemudian agama Islam berkembang dan menyebar lebih luas sampai jauh ke pelosok negeri. Sehingga bermunculan Kerajaan-kerajaan Islam yang menjadi penyangga kekuatan dakwah Islam di Indonesia.
1. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia ini diperkirakan berdiri sekitar awal atau pertengahan abad ke-13 M. sebagai hasil proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi oleh para pedagang muslim sejak abad ke-7 M, dan seterusnya.
Raja pertamanya adalah Malik Al-Sholeh. Penguasa Samudera Pasai bernama Merah Silu yang memeluk agama Islam atas ajakan Syekh Ismail. Syekh Ismail adalah seorang da'i dan utusan Syarif Mekah
yang datang melalui Malabar.
Setelah memeluk agama Islam, Merah Silu mengganti namanya menjadi Malik al-Saleh.
Raja Samudera Pasai ini memperistri putri kerajaan Perlak yang bernama Ganggang Sari, sehingga adanya perkawinan kedua kerajaan tersebut menjadi kekuatan besar untuk penyebaran dakwah Islam di Sumatera dan daerah-daerah sekitarnya.
Menurut para sejarawan bahwa Samudera Pasai bukanlah kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Karena sebelumnya, telah berdiri Kerajaan Perlak dan Aru. Kerajaan Samudera Pasai berada di pesisir timur laut Aceh (sekitar Kabupaten Lhokseumawe atau Aceh Utara sekarang).
Ibu kotanya ada di muara Sungai Pasangan. Terdapat dua kota besar yang terletak berseberangan di muara Sungai Pasangan, yaitu Samudera dan Pasai.
Dalam catatan Ibnu Batutah pada tahun 1345 menyatakan, ketika Ibnu Batutah singgah di Pasai, raja yang berkuasa bernama Malik Al-Zahir.
Ibnu Batutah menganggap bahwa raja ini benar-benar menunjukkan citra sebagai seorang raja muslim.
Malik al-Zahir dikenal sebagai seorang raja yang ortodoks, suka mengajak dan mengundang diskusi dengan para ahli fikih dan ushul, sehingga istananya ramai dikunjungi para cendekiawan dari berbagai negeri. Ia mengadakan hubungan dengan dunia Islam, diantaranya dengan Persia dan Delhi.
Pada tahun 1521 kerajaan Samudera Pasai ditaklukkan dan dikuasai oleh
Bangsa Portugis yang kemudian menguasainya selama tiga tahun. Setelah itu, sejak tahun 1524 dan seterusnya, Kerajaan Samudera Pasai masuk di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
Kerajaan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada awal abad ke-16 M. Ia memerintah antara tahun 1507 M hingga 1522 M.
Di dalam catatan sejarah, pulau Sumatera merupakan awal mula syi’ar agama Islam di Nusantara. Dari Sumatera inilah Islam mengembangkan sayap dakwahnya ke seluruh penjuru Tanah Air, sampai akhirnya Islam menjadi agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia.
2. Kerajaan Aceh Darussalam
Secara geografis, Kerajaan Aceh berada di Kabupaten Aceh Besar, berdiri abad ke-15 M merupakan kelanjutan dari kerajaan Lamuri oleh Muzaffar Syah (1465 – 1497M).
Raja pertamanya adalah Ali Mughayat Syah. Wilayah kekuasaannya dari Pidie sampai ke Sumatera Timur.
Peletak dasar kebesaran Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar Al-Qohar.
Diantara para sultan yang lain, Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M) berhasil membawa kejayaan kerajaan.
Wilayah kekuasaannya meliputi pelabuhan di pesisir timur dan barat Sumatera dan Aceh, tanah Gayo, Minangkabau.
Setelah mangkat digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani yang memiliki sikap lemah lembut, dan adil, pengetahuan agamanya maju dengan cepat. Sepeninggal beliau dipimpin oleh penguasa yang lemah sehingga mengalami kemunduran.
B. Kerajaan Islam di Jawa
1. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak diakui sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fatah (1500-1518 M).
Mulanya, ia adalah seorang adipati di Bintoro, Demak. Raden Fatah secara terang-terangan memutuskan ikatan dengan Majapahit, yang kala itu tengah mengalami masa kemunduran.
Dan atas prakarsa para wali, Ia mendirikan kerajaan Islam yang beribu kota Demak, sehingga lebih dikenal dengan Kerajaan Demak. Kesuksesan Kerajaan Demak lepas dari kekuasan Majapahit yang sedang mengalami konflik internal kekuasaan.
Perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg yang sangat memperlemah kekuatan Majapahit.
Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Trenggono.
Kerajaan Demak berhasil memainkan peran strategis sebagai basis penyebaran Islam di Jawa pada abad ke-16. Daerah kekuasaan Kerajaan Demak meliputi pesisir pantai utara Jawa. Pengaruhnya bahkan melampaui beberapa wilayah di luar Pulau Jawa.
Dalam mengembangkan wilayah kekuasaanya, selain melakukan ekspansi wilayah ke barat, Kerajaan Demak juga bergerak ke arah timur dan luar Jawa.
Tercatat pada tahun 1527 pasukan Kerajaan Demak telah berhasil menguasai Tuban.
Beberapa daerah menyusul dikuasainya pada tahun-tahun berikutnya: Wirosari/Purwodadi (1528), Gagelang/ Madiun (1529), Medangkungan/Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535), Lamongan (1542), Wilayah Gunung Penanggungan (1543) dan menaklukkan Wilayah Kerajaan Kediri, tahun 1544, Sengguruh/ Malang (1545).
Dalam upayanya menguasai Kerajaan Hindu Blambangan pada tahun 1546, Sultan Trenggono meninggal dunia di Panarukan.
Menurut catatan laporan perjalanan Portugis yang ditulis oleh Loaisa di tahun 1535, di antara kerajaan Islam di Nusantara, Kerajaan Demak dianggap paling kuat dan terus-menerus melancarkan serangan pada kekuasaan Portugis.
Serangan Adipati Jepara Pati Unus yang waktu itu sudah menjadi bagian dari Kerajaan Demak ke markas Portugis di Malaka pada tahun 1512-1513 M menunjukkan Demak sebagai kekuatan yang disegani dan diperhitungkan.
Paska mangkatnya Sultan Trenggono, kepemimpinan Kerajaan Islam Demak dilanjutkan oleh Sunan Prawoto namun tidak berselang lama, tragedi berdarah terjadi.
Sunan Prawoto dibunuh oleh Arya Penangsang sebagai bentuk balas dendam terhadap Sunan Prawoto atas meninggalnya Sultan Trenggono.
Arya Penangsang pun bernasib seperti pendahulunya. Atas kehendak taqdir, dalam dalam pertarungan satu lawan satu perlawanan Arya Penangsang berhasil dipatahkan oleh Jaka Tingkir.
Dengan bantuan Kyai Gede Pamanahan dan putranya Sutawijaya, serta Ki Penjawi, kemudian Jaka Tingkir naik tahta kerajaan dan penobatannya dilakukan oleh Sunan Giri.
Setelah menjadi raja, ia bergelar Sultan Hadiwijaya dan memindahkan pusat pemerintahannya dari Demak ke Pajang.
2. Kerajaan Pajang
Jaka Tingkir, adalah sultan dan raja pertama Kerajaan Pajang yang merupakan kelanjutan dari karajaan Demak. Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya, setelah mangkat diganti oleh menantunya Arya Panggiri yang juga anak asuhan dari Prawoto.
Namun putera Sultan Hadiwijaya yaitu Pangeran Benawa ingin menguasai dan tidak punya kemampuan untuk melawan Arya Panggiri, ia meminta bantuan Panembahan Senopati Penguasa Mataram untuk mengusir Arya Panggiri dan berhasil, dan akhirnya sejak itulah kerajaan Pajang dibawah kekuasaan Mataram.
Perkembangannya selanjutnya, karena pada masa Sultan Agung bermaksud memberontak, maka penguasa Mataram menghancurkannya, dan berakhirlah kekuasaan Pajang pada tahun 1618 M.
3. Kerajaan Mataram Islam
Senopati berkuasa sampai tahun 1601 M. Sepeninggalnya, ia digantikan oleh puteranya Seda Ing Krapyak digantikan oleh puteranya, Sultan Agung (1613-1646M).
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, kontak bersenjata antara kerajaan Islam Mataram dengan VOC mulai terjadi.
Pada tahun 1646 M. ia digantikan oleh puteranya, yaitu Amangkurat I. Pada masanya terjadi perang saudara dengan Pangeran Alit yang mendapat dukungan dari para ulama.
Akibatnya, para ulama pendukung dibantai habis pada tahun 1647 M.
Pemberontakan itu kemudian diteruskan oleh Raden Kajoran 1677 M dan 1678 M. Pemberontakan-pemberontakan seperti itulah pada akhirnya menjadi sebab runtuhnya kerajaan Islam Mataram.
Namun demikian, Kerajaan Islam Mataram banyak memberikan kontribusi terhadap proses kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masih eksis sampai sekarang di Daerah Istimewa Yogyakarta di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono.
4. Kerajaan (Kesultanan) Cirebon.
Kesultanan Cirebon berkuasa pada abad XV hingga abad XVI M. Letak kesultanan Cirebon adalah di pantai utara pulau Jawa.
Secara geografis berbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat dan ini membuat kesultanan Cirebon menjadi “perantara” antara kebudayaan Jawa dan Sunda. Sehingga, di Cirebon muncul budaya yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Sunda maupun kebudayaan Jawa.
Kesultanan Cirebon dimulai dari Ki Gedeng Tapa, yaitu seorang saudagar di pelabuhan Muarajati. Pondasi Kesultanan Cirebon dimulai tanggal 1 Sura 1358 tahun Jawa atau bertepatan dengan tahun 1445 M dan mulai saat itu menjadi daerah yang terkenal dengan nama desa Caruban. Kuwu atau Kepala desa pertama adalah Ki Gedeng Alangalang dan wakilnya adalah Walangsungsang.
Walangsungsang adalah putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa). Walangsungsang yang bergelar Cakrabumi diangkat menjadi Kuwu setelah Ki Gedeng Alang-alang meninggal, kemudian bergelar Pangeran Cakrabuana.
Pangeran Cakrabuana mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan Cirebon. Dengan demikian kesultanan Cirebon didirikan oleh pangeran Cakrabuana. Seusai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana Pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.
Pada tahun 1479 M, kedudukan Pangeran Cakrabuana digantikan oleh keponakannya yang bernama Syarif Hidayatullah (1448-1568 M).
Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, atau juga bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatu Rasulullah.
Pada perkembangan berikutnya ternyata banyak yang meyakini bahwa Syarif Hidayatullah adalah pendiri dinasti kesultanan Cirebon dan Banten, kemudian menyebarkan Islam di Majalengka, Kuningan, Kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten.
Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi oleh Fatahillah yang kemudian naik tahta, secara resmi menjadi Sultan Cirebon sejak tahun 1568.
Sayangnya hanya dua tahun Fatahillah menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.
Sepeninggal Fatahillah, tahta diteruskan oleh cucu Sunan Gunung Jati, yaitu pangeran Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan Ratu I, dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
Setelah panembahan Ratu I meninggal pada tahun 1649, pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama pangeran Karim, yang dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau Panembahan Girilaya.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya panembahan Girilaya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra panembahan Girilaya ditahan di Mataram.
Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadilah kekosongan penguasa.
Panembahan Girilaya meninggalkan Tiga Putra, Yaitu Pangeran Murtawijaya, Pangeran Kartawijaya, dan Pangeran Wangsakerta.
Pada penobatan ketiganya di tahun 1677, kesultanan Cirebon terpecah menjadi tiga.
Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak Panembahan Girilaya, yakni:
a. Pangeran Martawijaya atau Sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
b. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
c. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, Sultan Kraton Cirebon dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713)
Perubahan gelar dari “panembahan” menjadi “sultan” bagi dua putra tertua pangeran girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Ibu kota Banten.
Sebagai Sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing.
Adapun Pangeran Wangsakerta tidak diangkat sebagai Sultan, melainkan hanya panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para ilmuwan keraton.
Pergantian kepemimpinan para sultan di Cirebon selanjutnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803).
Saat itu terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya, yaitu pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Raja Kanoman didukung oleh pemerintah belanda yang mengangkatnya menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. Sejak saat itu, di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan.
Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811). Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial belanda pun semakin ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya semakin surut.
Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya Kota Cirebon
5. Kerajaan (Kesultanan) Banten
Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak.
Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara
(Tangerang), Sunda Kelapa dan Cimanuk.
Putera dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf.
Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.
Puncak kejayaan Kerajaan Banten terjadi pada masa pemerintahan Abdul Fatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa.
Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.
Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten.
Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.
Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles.
Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.
Para pemimpin Kesultanan Banten adalah sebagai berikut :
a) Sunan Gunung Jati
b) Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
c) Maulana Yusuf 1570 - 1580
d) Maulana Muhammad 1585 - 1590
e) Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640
f) Sultan Abu al Ma’ali Ahmad 1640-1650
g) Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
h) Sultan Abdul Kahar 1683-1687
i) Sultan Fadhl atau Sultan Yahya 1687-1690
j) Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
k) Muhammad Syifa Zainul Arifin/Sultan Arifin (1750-1752)
l) Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
m) Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
n) Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
o) Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
p) Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
q) Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
r) Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
s) Aliyuddin II (1803-1808)
t) Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
u) Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
C. Kerajaan Islam di Kalimantan
Pada awal abad XVI, Islam masuk ke Kalimantan Selatan, yaitu di Kerajaan Banjar yang waktu itu beragama Hindu.
Berdirinya kerajaan Banjar berawal dari perebutan kekuasaan di Kerajaan Negara Daha.
Pertemuan Patih Masih dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin menghasilkan kesepakatan untuk mencari Raden Samudra cucu Maharaja Sukarama yang menurut sumber berita sedang bersembunyi di daerah Balandean Sarapat.
Pangeran Samudra bersembunyi dan menyamar jadi rakyat jelata karena Pangeran Tumenggung yang menjadi raja di Negara Daha pamannya sendiri ingin membunuhnya.
Keberadaan Pangeran Samudra oleh para patih dan rakyat diangkat sebagai Raja di yang Banjarmasin, kemudian banyak daerah lain juga mengakuinya, membuat Pangeran Tumenggung marah.
Terlebih Pangeran Samudra bersama beberapa Patih membangun pelabuhan baru di muara Sungai Kelayan, sehingga menyaingi dan mengurangi keramaian pelabuhan Marabahan, milik Kerajaan Negara Daha.
Bagi Pangeran Tumenggung sebagai raja Negara Daha, sikap para patih di Banjarmasin tersebut berarti suatu pemberontakan yang tidak dapat dimaafkan dan harus dihancurkan.
Atas usul Patih Masih, Pangeran Samudra meminta bantuan tentara dan logistik pada Kerajaan Islam Demak yang saat itu dipimpin Sultan Trenggono ( sultan ketiga yang berkuasa pada tahun 1521-1546) .
Patih Balit diutus menghadap Sultan Demak dengan 400 pengiring dan 10 buah kapal. Patih Balit menghadap Sultan Trenggono dengan membawa sepucuk surat dari Pangeran Samudra dan berjanji akan masuk Islam jika menang.
Akhirnya Sultan Demak mengirim bantuan pasukan sebanyak 10 ribu orang pasukan dan diiringi oleh seorang Penghulu Islam yang akan mengislamkan raja dan penduduk.
Akhirnya terjadilah peperangan antara kedua belah pihak. Peperangan ini berlangsung lama dan dahsyat dan banyak mengorbankan pasukan dan rakyat.
Banyaknya korban membuat kedua belah pihak untuk adu tanding antara Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera sehingga perang selesai.
Menaiki perahu ketangkasan kedua belah pihak, masing-masing berpakaian perang, berpedang, memakai perisai, sumpit tambilahan, keris dan talabang, dengan disaksikan tentara dan rakyat kedua belah pihak dan kedua raja berjumpa di atas sungai Parit Basar.
Namun ketika sudah bertemu, Pangeran Samudra tidak mau menggunakan senjatanya untuk membunuh Pangeran Tumenggung, karena melawan Pangeran Tumenggung hakikatnya melawan ayahnya sendiri.
Pangeran Samudra malah mempersilakan Pangeran Tumenggung untuk membunuhnya.
Ternyata Pangeran Tumenggung juga memiliki perasaan yang sama, ia tidak tega membunuh kemenakannya, lalu muncul kasih sayangnya kepada kemenakannya sendiri dan langsung memeluk serta memohon ampun atas segala kesalahannya di masa lalu yang menyebabkan Pangeran Samudra hidup menderita dan menjadi orang terbuang.
Sang paman mengaku kalah dan menghindarkan diri ke daerah Alai Meratus, namun karena kemurahan hati Pangeran Samudra, pamannya itu masih diberi kekuasaan mengurus daerah-daerah hulu, khususnya Batang Amandit dan Batang Alai bersama 1.000 orang penduduk.
Terjadilah penyerahan legalitas kerajaan kepada Pangeran Samudra dan Negara Daha ditinggalkan, menjadi kosong karena semua penduduknya diangkut ke Banjarmasin.
Rakyat Negara Daha yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Pangeran Tumenggung bersedia pindah dan menjadi rakyat Banjarmasin dan mereka mengangkat sumpah setia kepada Pangeran Samudera yang bergelar Pangeran Suryanullah atau Suriansyah.
Setelah naik tahta, daerah-daerah sekitanya mengakui kekuasaaanya yakni daerah Batangla, Sukaciana, Sambas dan Sambangan.
Kemudian setelah itu di Kalimantan Timur (Kutai) pada tahun 1575 M Tunggang Parangan mengislamkan raja Mahkota. Sejak baginda masuk Islam, terjadilah Islamisasi di Kutai dan sekitarnya.
Setelah itu, penyebaran Islam lebih jauh ke daerah-daerah pedalaman dilakukan oleh putranya dan para penggantinya meneruskan dakwah sampai di daerah-daerah yang lebih dalam.
D. Kerajaan Gowa - Tallo
Kultur Kerajaan Gowa - Tallo tidak dapat dipisahkan dengan Islam. Setelah Kerajaan GowaTallo memeluk Islam, penyebaran Islam di Sulawesi dan bagian timur Indonesia sangat pesat.
Kerajaan ini adalah kerajaan yang menerapkan syariah Islam. Karena itu, wajar kalau Gowa ini dikenal sebagai “Serambi Madinah”.
Keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau. Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah, Minangkabau.
Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: (1) Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang; (2) Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang; (3) Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk Ri Tiro.
Sesampainya di Gowa, mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu’, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallok dan Raja Gowa.
Mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaanya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang rajaraja Sulawesi Selatan.
Kedatangan Datuk Tellue mendapat sambutan hangat dari Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu.
Sejak agama Islam menjadi agama resmi di GowaTallo’, Raja Gowa Sultan Alauddin makin kuat kedudukannya. Sebab, beliau juga diakui sebagai Amirul Mukminin (kepala agama Islam) dan kekuasaan Bate Salapanga diimbangi oleh Qadhi, yang menjadi wakil raja untuk urusan keagamaan bahkan oleh orang-orang Makassar, Bugis dan Mandar yang telah lebih dulu memeluk agama Islam pada abad XVI.
Sultan Alauddin dipandang sebagai pemimpin Islam di Sulawesi Selatan.
Ada pendekatan unik yang dilakukan oleh oleh Sultan Alauddin dan Pembesar Kerajaan Gowa yaitu mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara lain: barangsiapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya.
Dan oleh karena Gowa sekarang sudah melihat jalan kebajikan, yaitu agama Islam, maka Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam.
E. Kerajaan (Kesultanan) Ternate
Kesultanan Ternate (Kerajaan Gapi) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di nusantara.
Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh kepulauan Marshall di pasifik.
Pulau Gapi atau Ternate mulai ramai di awal abad XIII, penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera.
Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing-masing di kepalai oleh seorang momole (kepala marga), merekalah yang pertama-tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah-rempah.
Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272).
Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar (Gamalama).
Di masa-masa awal suku Ternate dipimpin oleh para Momole.
Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano.
Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan.
Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan. Setelah sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu (perdana menteri) dan Fala Raha sebagai para penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole di masa lalu, masing masing di kepalai seorang Kimalaha. Mereka antara lain: Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi.
Pejabat-pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klanklan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan-jabatan lain Bobato Nyagimoi Se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji, dan sebagainya.
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 5 kerajaan lain yang
memiliki pengaruh. Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda.
Kerajaan-kerajaan ini merupakan saingan Ternate memperebutkan hegemoni di Maluku.
Demi menyatukan kerajaan-kerajaan tersebut, raja Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja-raja Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan.
Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond.
Oleh karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku). Kolano Marhum (1465-1486), Penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana.
Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500).
Ia mendirikan lembaga pengajaran Islam yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, di sana beliau dikenal sebagai "Sultan Bualawa" (Sultan Cengkih).
Di masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin
berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara Islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate.
Di masa ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506. Tahun 1512 Portugis untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan Sultan, Portugis diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate.
Portugis datang bukan semata-mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah pala dan cengkih di Maluku.
Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate.
Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris yang masih sangat belia.
Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali.
Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri.
Portugis memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara.
Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugis.
Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugis.
Gubernur Portugis bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan.
Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa India.
Di sana ia dipaksa Portugis untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugis, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah Sultan Khairun (1534-1570).
Perlakuan Portugis terhadap saudara-saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugis dari Maluku. Tindak-tanduk bangsa barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun.
Pembunuhan secara licik terhadap Sultan Khairun oleh Portugis semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugis, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugis di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur, setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugis meninggalkan Maluku untuk selamanya tahun 1575.
Ternate mencapai puncak kejayaan di bawah pimpinan Sultan Baabullah,
wilayahnya membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga kepulauan Marshall di bagian timur, dari Philipina (Selatan) di bagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara di bagian selatan.
Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 pulau” yang semuanya berpenghuni (sejarawan Belanda, Valentijn menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 pulau tersebut) hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, disamping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah nusantara kala itu.
Periode keemasaan abad ke-14 dan ke-15 tiga kesultanan ini adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme barat. dalam sejarah bangsa ini.
Sepeninggal Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol yang telah bersatu dengan Portugis tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate.
Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda tahun 1603. Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol
namun dengan imbalan yang amat mahal.
Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate, tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol.
Di tahun 1607 Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.
Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
a) Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar-besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan.
b) Tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate-Hitu Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah.
Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi
hingga 1646.
c) Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650, 1655- 1675) yang terlampau akrab dan di anggap cenderung menuruti kemauan Belanda.
Para bangsawan bersekutu untuk menurunkan Mandarsyah. Tiga diantara pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi (Kapita Laut), Majira (Raja Muda Ambon) dan Kalumata (adik Sultan Mandarsyah).
d) Sultan Muhammad Nurul Islam (Sultan Sibori 1675-1691) merasa gerah dengan tindak-tanduk Belanda yang semenamena.
Ia menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan vazal Belanda.
Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.
Kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya tinggal simbol belaka. Jabatan sultan sebagai pemimpin Ternate ke-49 kini dipegang oleh sultan Drs. Hi. Mudhaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1986.
Imperium Nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku.
Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat dan bahasa.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam tulisannya; “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa-bahasa Austronesia dan Non-Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu yang
digunakan masyarakat timur Indonesia.
Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu-Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda-beda.
Dua naskah Melayu tertua di dunia adalah naskah surat sultan Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521 yang saat ini masih tersimpan di museum LisabonPortugal.
F. Kerajaan Islam di Nusa Tenggara
Perkembangan Islam di Nusa Tenggara dimulai sejak abad XVI M dikenalkan oleh Sultan Prapen (1605), putra Sunan Giri.
Dimulai dari Lombok kemudian Islam menyebar ke Pejanggik, Parwa, Sokong, Bayan dan tempat-tempat lainnya hingga seluruh Lombok memeluk agama Islam. Dari Lombok juga Sunan Prapen menyampaikan dakwahnya hingga ke Sumbawa.
Di Lombok berdiri Kerajaan Selaparang dan di bawah pemerintahan Prabu Rangkeswari, kerajaan ini mengalami masa keemasan dan kekuasaannya mencapai seluruh Lombok.
Selaparang juga menjalin hubungan dengan beberapa kerajaan Islam seperti Demak. Kerajaan Selaparang juga sering dikunjungi para pedagang, sehingga interaksi masyarakat muslim semakin baik.
Pada saat VOC berusaha menguasai jalur perdagangan, Kesultanan Gowa berusaha untuk menutup jalur perdagangan VOC ke Lombok dan Sumbawa.
Kerajaan-kerajaan di Sumbawa banyak yang masuk dalam kekuasan Kesultanan Gowa pada sekitar tahun 1618, Bima dikuasai Gowa tahun 1633 dan Selaparang tahun 1640, demikian juga daerah-daerah yang lain dikuasai oleh Kesultanan Gowa pada abad XVII.
Hubungan antara kesultanan Gowa dan Lombok pun dipererat dengan cara perkawinan seperti Pemban Selaperang, Pejanggik dan Parwa.
Di antara Kerajaan Islam yang menonjol di Nusa Tenggara adalah Kesultanan Bima.
Rajanya yang pertama adalah Ruma Ma Bata Wadu yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Khair (1611-1640). Literatur mengenai sejarah Kesultanan Bima di abad XX dapat diperkaya pada gambaran terperinci Syair Kerajaan Bima.
Syair Kerajaan Bima mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Kesultanan Bima pada kurun 1815-1829.
Ada empat kejadian yang diceritakan dalam syair tersebut: wafatnya sultan, diangkatnya penggantinya, serangan perompak dan meletusnya Gunung Tambora.
Syair Kerajaan Bima dikarang seorang khatib yang bernama Lukman, yang masih merupakan kerabat Sultan Bima, sekitar tahun 1830.
G. Peranan Kerajaan terhadap Perkembangan Islam di Indonesia
Dalam perkembangannya, kerajaan Islam ini memiliki peran yang sangat besar dalam proses penyebaran agama Islam di tanah air.
Beberapa peran dari kerajaan Islam yang dianggap penting tersebut di antaranya adalah:
1. Ketika agama Islam dianut oleh Raja atau Sultan dan juga para pejabat Istana serta para bangsawan dan diikuti seluruh keluarganya maka diikuti pula lapisan masyarakat secara umum.
2. Kegiatan politik dan ekonomi kerajaan Islam menjadi sarana dalam melaksanakan dakwah.
3. Dakwah Islam menjadi motivasi dan spirit dalam mengusir penjajah dari bumi nusantara.
4. Memudahkan transaksi perdagangan dengan para pedagang dari kawasan Timur Tengah. Pada saat itu, para pedagang dari Gujarat kerap berkelana hingga ke daerah yang jauh untuk berdagang. Dengan adanya kerajaan Islam, maka ada kesamaan budaya dari kedua belah pihak sehingga lebih memudahkan dalam menjalin hubungan.
5. Mengubah budaya upeti yang banyak digunakan di zaman kerajaan sebelumnya. Hal ini memberikan kemudahan pada rakyat karena tidak lagi mendapatkan beban membayar upeti kepada penguasa secara berlebihan. Kalau pun kerajaan memerlukan penggalangan dana lain, maka nilainya menjadi berbeda karena dalam Islam menyumbang kepada pihak lain merupakan tindakan mulia dan hanya Allah yang akan membalas dengan cara yang tidak pernah diketahui bahkan tak pernah dibayangkan oleh orang yang memberi sumbangan tersebut.
Upaya memakmurkan rakyat menjadi tujuan kerajaan Islam yang lebih mudah diwujudkan. Tentu saja berbeda dengan sistem kerajaan sebelumnya di mana rakyat menjadi pengabdi kepada kerajaan dan kerajaan tidak secara otomatis mencari upaya untuk mensejahterakan rakyatnya.
6. Setelah Agama Islam menjadi agama resmi kerajaan maka perubahan-perubahan tampak dalam sendi-sendi kehidupan kerajaan, bisa di lihat dari aspek sosial politik dan budaya
7. Menciptakan tata kehidupan baru yang lebih sesuai dengan apa yang ada pada ajaran Islam. Islam sebagai agama yang baru dengan mudah diterima karena tata nilai dan sistem di dalamnya terasa lebih adil.
Masing-masing individu memiliki kesempatan yang sama untuk menempati derajat yang tinggi di mata Allah Swt.tanpa membedakan latar belakang budaya, suku dan keturunan.
Demikian pula dalam tata pergaulan sehari-hari, hubungan antar individu menjadi lebih baik, sopan santun dianggap sebagai akhlak yang mulia, sehingga setiap individu memiliki keinginan untuk meraihnya.
8. Dalam bidang keamanan, kerajaan Islam memiliki kewajiban untuk menciptakan kedamaian kepada seluruh rakyat, sehingga dalam melakukan kegiatan sehari-hari tidak akan terganggu dengan ancaman keselamatan.
H. Hikmah Pembelajaran
1. Kita dapat meneladani kegigihan para penyebar Islam di Indonesia dalam menyebarkan Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin.
2. Kita dapat meneladani model kepemimpinan para raja pada masa dahulu.
3. Memperluas khazanah keilmuan kita dalam memahami sejarah awal berdirinya kerajaan Islam di Indonesia.
4. Kita dapat mengetahui berbagai macam keberagaman kebudayaan Islam yang ada di Indonesia.
5. Sebagai generasi muslim hendaknya kita terus melestarikan budaya-budaya baik yang ada di Indonesia dan berhubungan dengan Islam
I. Rangkuman
1. Kerajaan Islam memiliki peranan yang penting dalam mengembangkan islam di Indonesia melalui jalur kekuasaan
2. Kerajaan Islam pertama yang berdiri di Indonesia adalah kerajaan samudra pasai sedangkan di pulau Jawa kerajaan Demak
3. Kerajaan Islam Demak menjadi kerajaan yang penting dalam proses Islamisasi di pulau Jawa pada umumnya
4. Selain kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam lainnya muncul seiring dengan perkembangan islam di pulau Jawa di antaranya kerajaan Islam Cirebon, Banten, Mataram, Pajang.
5. Kerajaan Islam memiliki peran penting dalam mengusir penjajah di Indonesia
6. Kerajaan Islam Goa–Tallo merupakan kerajaan Islam di Sulawaesi sedangkan Ternate dan Tidore di pulau Maluku
J. Uji Kompetensi
1. Jelaskan mengapa pendirian kerajaan Islam menjadi hal yang penting dalam menyebarluaskan Islam di Nusantara?
2. Berikan contoh peranan kerajaan Islam Demak dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa?
3. Siapakah raja dari kerajaan Demak yang mengalami masa kejayaan dalam memimpin?
4. Apa yang menjadi penyebab berdirinya kerajaan Demak?
5. Mengapa pada masa Sultan Ageng Tirtayasa kerajaan Banten mengalami masa kejayaan?
6. Sebutkan kerajaan Islam yang terbentuk karena perjanjian Giyanti?
7. Jelaskan persekutuan daerah antar kerajaan terkait dengan adanya persaingan penguasaan dagang di Maluku?
8. Jelaskan tatanan kehidupan masyarakat setelah adanya kerajaan Islam dalam memandang perbedaan budaya?
9. Sebutkan peranan penting kerajaan Islam di Nusantara?
10. Mengapa Sultan Hasanudin menyerahkan kekuasaan kepada putranya Mapasomba?