Respon Bangsa Indonesia terhadap imperialisme dan kolonialisme dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pendidikan
Kompetensi Dasar
3.7. Menganalisis respon bangsa Indonesia terhadap imperialisme dan kolonialisme dalam bidang politik (organisasi pergerakan), ekonomi (bentuk perlawanan terhadap praktik monopoli), sosialbudaya (karya seni dan sastra), dan pendidikan (Taman Siswa, Kayu Tanam)
4.7. Menyajikan hasil analisis respon bangsa Indonesia terhadap imperialisme dan kolonialisme dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pendidikan dalam bentuk tulisan dan/atau media lain
Selama ratusan tahun, di beberapa wilayah nusantara telah mengalami penjajahan oleh bangsa barat, beberapa kisah sejarah telah kita dengan bagaimana bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki semangat juang tinggi melawan dan berupaya mengusir para penjajah tersebut.
Beberapa tempat di wilayah Nusantara (Aceh, Bali, Riau, dll) bahkan tidak sampai setengah abad mengalami penajahan, hal tersebut dikarenakan kekuatan dari para penguasa di daerah yang menyebabkan kekuatan kolonialisme dan imperialisme sulit untuk masuk.
Namun demikian, selama ratusan tahun di beberapa tempat di Indonesia yang mengalami kolonialisasi dan imperialism dari bangsa Barat memunculkan respon-respon dari Bangsa Indonesia yang mencerminkan adanya semangat juang dan daya perlawanan yang tinggi, meskipun menjadi daerah koloni bangsa lain, para tokoh-tokoh Bangsa Indonesia menggerakan banyak sekali perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan dari bangsa barat yang merugikan, melalui modul ini, kita akan sama sama menganalisis bagaimana respon Bangsa Indonesia terhadap penjajahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan Pendidikan.
A. Tujuan Pembelajaran
1. Mengumpulkan dan mengolah data dari berbagai sumber mengenai respon bangsa Indonesia terhadap imperialisme dan kolonialisme dalam bidang politik (organisasi pergerakan), ekonomi (bentuk perlawanan terhadap praktik monopoli).
2. Menganalisis dan menarik kesimpulan dari data yang dikumpulkan terkait respon bangsa Indonesia terhadap imperialisme dan kolonialisme dalam bidang politik (organisasi pergerakan), ekonomi (bentuk perlawanan terhadap praktik monopoli).
B. Uraian Materi
Sehingga apa maksud dari Respon Bangsa Indonesia Terhadap kolonialisme dan imperialisme barat ? sejak kedatangan Bangsa Eropa khususnya Belanda ke Indonesia, telah terjadi berbagai respon yang beragam dari Bangsa Indonesia, namun ketika kedatangan tersebut makin intens dan terjadi berbagai upaya Bangsa Eropa untuk masuk dan menguasai Kepulauan Indonesia, munculah respon-respon dari kalangan masyarakat Indonesia, khususnya dalam bentuk perlawanan.
Pada awalnya kedatangan bangsa barat dimotivasi oleh keinginan untuk mendapatkan rempah-rempah sebagai salah satu komoditas yang sangat laku di pasar Eropa, keinginan bangsa Barat untuk menjelajahi dunia baru di Kawasan Timur, termasuk Indonesia didorong oleh motivasi 3G, yaitu Gold, Glory dan Gospel (Kekayaan, Kejayaan dan Penyebaran Agama) secara umum Bangsa Barat yang datang ke Indonesia memang diawali dengan berbagai kegiatan perdagangan, yang memang sudah sangat umum dilakukan di Indonesia dengan berbagai bangsa.
Komoditas yang menjadi primadona antara lain adalah rempah-rempah.
Kedatangan Bangsa Barat tersebut lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah upaya mendominasi dan menjajah Kepulauan Indonesia, keserakahan dan keinginan mereka untuk menguasai kepulauan Indonesia beserta segala potensinya lantas dipraktekkan dalam upaya-upaya monopoli perdagangan, mengadu domba antar kerajaan-kerajaan
di Indonesia, bahkan menduduki secara langsung wilayah Kepulauan Indonesia.
Semua perlakuan dan aksi dari Bangsa Barat di Kepulauan Indonesia pada akhirnya memunculkan beragam respon dari Bangsa Indonesia.
Yang dimaksud dengan imperialisme adalah suatu sistem politik yang tujuannya adalah menjajah bangsa atau negara lain demi untuk memperoleh kekuasaan dan keuntungan secara sepihak yang jauh lebih besar.
Sementara yang dimaksud dengan kolonialisme adalah tindakan penguasaan atas suatu wilayah dan penduduk suatu bangsa dengan tujuan yang sifatnya militer juga ekonomi. Keberadaan bangsa barat di Indonesia utamanya Belanda adalah contoh nyata kolonialisme dan imperialisme sebab tujuan penguasaan atas sejumlah wilayah di nusantara adalah untuk memperluas kekuasaan dan mendapatkan keuntungan ekonomi.
Periode panjang penjajahan di sebagian wilayah Indonesia seringkali menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia, munculnya berbagai perlawanan dari para tokoh Bangsa Indonesia membuat gambaran betapa banga kita bukan bangsa yang diam saja ketika mengalami penindasan, berbagai periode penjajahan dari bangsa Belanda yang digambarkan di garis waktu di bawah ini, semuanya memunculkan respon perlawanan dari Bangsa Indonesia.
Sejak kedatangan Belanda 1596 hingga 1942 M, dapat kita sama sama ingat periodisasi penjajahan Bangsa Barat di Indonesia dalam timeline di bawah ini, meskipun timeline ini bukan menggambarkan penguasa sah seluruh Kepulauan Indonesia, serta tidak dapat dikatakan bahwa Bangsa Eropa menguasai Kepulauan Indonesia secara utuh sejak Abad 16 M, karena pada saat Bangsa Eropa sudah menguasai sebagian wilayah Kepulauan Indonesia, banyak pula pada saat yang bersamaan, penguasa-penguasa lokal Indonesia tetap memerintah kerajaannya, mari kita ingat kembali periodisasi sebagai berikut :
1. Respon Bangsa Indonesia Terhadap Kolonialisme Dan Imperialisme Dalam Bidang Politik
Imperialisme dan kolonialisme yang pernah mendera Indonesia juga mengakibatkan hal lain: aktivitas pemerintahan berpusat di jawa. Hal ini akhirnya terbawa sampai sekarang. Meskipun saat ini kita sudah melakukan desentralisasi, tapi tetap terasa bahwa wilayah Jawa seakan adalah pusat pemerintahan.
Tentu, saat pemerintah kolonial Belanda menguasai Indonesia, tidak sedikit perlawanan yang menghadang. Salah satunya adalah perlawanan ciamik lewat dunia politik. Kebanyakan rakyat bergerak melalui organisasi dalam maupun luar negeri.
Masa pergerakan nasional di Indonesia ditandai dengan berdirinya organisasiorganisasi pergerakan.
Masa pergerakan nasional (1908 – 1942), dibagi dalam tiga tahap berikut.
1. Masa penyusunan (1908 – 1920) berdiri organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij.
2. Masa radikal/nonkooperasi (1920 – 1930), berdiri organisasi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Perhimpunan Indonesia (PI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
3. Masa moderat/kooperasi (1930 – 1942), berdiri organisasi seperti Parindra, Partindo, dan Gapi. Di samping itu juga berdiri organisasi keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi perempuan.
Dalam uraian materi ini akan diambil 2 contoh organisasi pergerakan nasional dari masing-masing periode, yaitu Budi Utomo dan Sarekat Islam mewakili masa penyusunan, Perhimpunan Indonesia dan PNI mewakili masa radikal/non kooperasi, dan Parindra serta GAPI mewakili masa moderat/Koperasi.
Sedangkan sebagai informasi, organisasi-organisasi pergerakan nasional dapat dilihat secara singkat pada tabel di bawah ini:
a. Organisasi Budi Utomo
Berdirinya Budi Utomo menjadi tanda kebangkitan nasional bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya sekaligus penanda perkembangan nasionalisme Indonesia. Meskipun saat itu pendirian organisasi awalnya hanya dituukan bagi golongan berpendidikan Jawa. Hingga saat ini tanggal berdirinya, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Hal ini menjadikan sejarah Budi Utomo dari awal hingga akhir sangat menarik untuk dipelajari.
Budi Utomo (Boedi Oetomo) ialah organisasi yang didirikan tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA. Mereka adalah Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji.
Wahidin Sudirohusodo merupakan penggagas Budi Utomo dan namanya selalu dikaitkan dengan sejarah Budi Utomo ataupun sejarah berdirinya Budi Utomo.
Budi Utomo dipelopori oleh para pemuda dari STOVIA, Sekolah Guru Bandung, Sekolah Pamong Praja Magelang dan Magelang, Sekolah Peternakan dan Pertanian Bogor, dan Sekolah Sore untuk Orang Dewasa di Surabaya.
Para pelajar tersebut terdiri dari Soeradji, Muhammad Saleh, Soewarno A, Goenawan Mangoenkoesoemo, Suwarno B., R. Gumbreg, R. Angka, dan Soetomo.
Nama organisasi Budi Utomo diusulkan oleh Soeradji dan semboyan yang dikumandangkan ialah Indie Vooruit (Hindia Maju) dan bukan Java Vooruit (Jawa Maju).
Budi Utomo terdiri atas kata budi yang berarti perangai atau tabiat dan utomo yang berarti baik atau luhur. Jadi perkumpulan Budi Utomo dapat dimaknasi sebagai perkumpulan yang akan mencapai sesuatu berdasarkan keluhuran budi dan kebaikan perangai atau tabiat.
Tujuan Budi Utomo yakni memperoleh kemajuan yang harmonis bagi nusa dan bangsa Jawa dan Madura. Pada awalnya Budi Utomo hanya mengendaki perbaikan sosial yang meliputi Jawa dan Madura, sehingga kata kemerdekaan belum disebut.
Beberapa usaha ditempuh untuk mewujudkan tujuan tersebut yakni memajukan pengajaran sesuai dengan yang dicita-citakan oleh dr. Wahidin, peternakan, pertanian, perdagangan, teknik, industri, dan menghidupkan kembali kebudayaan.
b. Sarekat Islam (SI)
Kita kerap mendengar seruan untuk menjauhkan Islam dari gerakan politik. “Jangan gunakan Islam sebagai alat politik, begitu kira-kira seruan mereka. Mereka menginginkan Islam diisolasi di ruang “netral”.
Sebetulnya ruang netral itu tidak ada. Sebab, hampir semua ruang kehidupan manusia itu terkait dengan politik. Mana bisa Islam terpisah dari persoalan kehidupan? Mana bisa Islam tutup mata dengan penderitaan umatnya?
Dan memang, jika kita menengok ke masa silam, Islam tidak berjarak dengan politik. Itu terjadi pada permulaan abad 20, bersamaan dengan kebangkitan perlawan rakyat Indonesia menentang kolonialisme, muncul gerakan politik Islam
atau Islam Politik.
Di awal abad ke-20, ada organisasi sosial-politik yang sangat mencolok. Namanya: Sarekat Islam. Ini organisasi massa terbesar di zamannya.
Tjokroaminoto, pimpinan SI yang kerap disebut “Raja Jawa” itu, mengklaim jumlah anggotanya mencapai 2 juta orang.
Sumber resmi mengatakan, SI lahir dari perkumpulan kaum pribumi yang mengamankan Laweyan, daerah hunian saudagar batik di Solo. Pendirinya bernama Haji Samanhudi. Awalnya, organisasi itu bermuasal dari organisasi ronda bernama “Rekso Roemekso”. Pendapat ini diperkuat oleh Takashi Shiraishi dalam bukunya, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa (1912-1926).
Namun, versi lain yang lebih akurat menyatakan, SI berasal dari organisasi yang sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islamiyah (SDI). Pendirinya adalah seorang bekas murid STOVIA yang terbakar api nasionalisme Tiongkok, Tirto Adhi Soerjo, pada tahun 1909. Pendapat ini diusung oleh Pramoedya Ananata Toer dalam tetralogi bagian ketiganya, Jejak Langkah.
Namun, pada tahun 1913, sebagai upaya menjegal perkembangan SDI, penguasa kolonial membuang Tirto ke Ambon.
Kepengurusan SI pun berpindah ke Haji Samanhudi dan kegiatannya berpusat di Solo.
Pendapat Pram itu hampir sejalan dengan pendapat Bung Hatta saat menyampaikan ceramah berjudul “Dari Budi Utomo menuju Sarekat Islam” di gedung Kebangkitan Nasional tanggal 22 Mei 1974. Menurut Bung Hatta, pendiri SDI adalah Tirto di Batavia tahun 1909. Tirto kemudian melakukan tur keliling jawa, termasuk Solo. Dengan demikian, SDI Solo yang diketuai Haji Samanhudi adalah cabang SDI-nya Tirto Adhisuryo.
SDI di bawah Haji Samanhudi terus berkembang. Sayang, Haji Samanhudi tidak bisa mengendalikan organisasi yang terus berkembang. Ia juga tak kuasa melawan tekanan penguasa kolonial. Akhirnya, pada tahun 1912, kepemimpinan SDI diserahkan kepada Tjokroaminoto, seorang teknisi di pabrik gula Rogojampi.
Pusat kegiatan SDI pun dipindahkan ke Surabaya. Namanya pun berubah menjadi Sarekat Islam (SI).
c. Perhimpunan Indonesia
Selain rakyat yang ada di daerah kita, jiwa nasionalisme juga timbul dari luar negeri. Para mahasiswa yang sedang belajar di Belanda, pada tahun 1908, membentuk Indische Vereeniging. Pada mulanya, mereka membentuk ini atas dasar sosial. Namun, seiring berjalannya waktu, namanya berubah menjadi Indonesia Vereeniging pada tahun 1922.
Mereka pun semakin melebarkan sayapnya dan memasuki dunia politik. Gagasan-gagasannya disalurkan lewat majalah Hindia Putra. Sampai akhirnya, tiga tahun kemudian, mereka menjadi lebih radikal dan mengganti namanya menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Mereka pun secara tegas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
d. Partai Nasional Indonesia (PNI)
Berdirinya partai-partai dalam pergerakan nasional banyak bermula dari studie club. Salah satunya yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai Nasional Indonesia (PNI) yang lahir di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 tidak terlepas dari keberadaan Algemeene Studie Club. Lahirnya PNI juga dilatarbelakangi oleh kondisi sosio politik yang rumit.
Pemberontakan PKI pada tahun 1926 membangkitkan semangat untuk membentuk kekuatan baru dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda. Rapat pendirian partai ini dihadiri Ir. Soekarno, Dr.Cipto Mangunkusumo, Soedjadi, Mr. Iskaq Tjokrodisuryo, Mr. Budiarto, dan Mr. Soenarjo.
Pada permulaan berdirinya, PNI berkembang benar-benar cepat karena disupport oleh elemen-faktor berikut.
1. Pergerakan yang ada lemah sehingga kurang bisa menggerakkan massa.
2. PKI sebagai partai massa telah dilarang.
3. Propagandanya menarik dan memiliki orator ulung yang bernama Ir. Soekarno (Bung Karno).
Untuk mengobarkan motivasi perjuangan nasional, Bung Karno mengeluarkan Trilogi sebagai pegangan pengorbanan PNI. Trilogi hal yang demikian mencakup kesadaran nasional, kemauan nasional, dan perbuatan nasional.
Tujuan PNI yakni mencapai Indonesia merdeka. Untuk mencapai tujuan tersebut, PNI menerapkan tiga asas adalah self help (berjuang dengan usaha sendiri) dan nonmendiancy, sikapnya kepada pemerintah juga antipati dan nonkooperasi. Dasar perjuangannya yaitu marhaenisme. Kongres Partai Nasional Indonesia yang pertama diadakan di Surabaya, tanggal 27 – 30 Mei 1928.
Peranan PNI dalam pergerakan nasional Indonesia sangat besar. Menyadari perlunya pernyataan semua potensi rakyat, PNI memelopori berdirinya Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
PPPKI dicontoh oleh PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen Bond, Kaum Betawi, Indonesische Studi Club, dan Algemeene Studie Club.
Melihat PNI ini pesat menarik massa dan hal ini betul-betul mencemaskan pemerintah kolonial Belanda. Pengawasan kepada aktivitas politik dilakukan semakin ketat bahkan dengan tindakan-tindakan penggeledahan dan penangkapan.
Dengan berkembangnya desas desus bahwa PNI akan mengadakan pemberontakan, karenanya empat tokoh PNI yaitu Ir. Soekarno, R. Gatot
Mangkuprojo, Markun Sumodiredjo, dan Supriadinata ditangkap dan dijatuhi sanksi oleh pengadilan Bandung. Dalam proses peradilan itu, Ir. Soekarno dengan kejagoannya melaksanakan advokasi yang diberikan judul “Indonesia Menggugat”.
Penangkapan terhadap para tokoh pemimpin PNI merupakan pukulan berat dan menggoyahkan keberlangsungan partai. Dalam suatu kongres luar umum yang diadakan di Jakarta pada tanggal 25 April 1931, diambil keputusan untuk membubarkan PNI. Pembubaran ini memunculkan pro dan kontra. Mr. Sartono kemudian mendirikan Partindo. Mereka yang tak setuju dengan pembubaran dan usulan Sartono, lantas mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) yang didirikan oleh Drs. Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Baik Partindo maupun PNI-Baru, masih menerapkan asas PNI yang lama yaitu self help dan nonkooperasi.
Lewat di antara keduanya terdapat perbedaan dalam hal strategi perjuangan. PNI-Baru lebih mengutamakan pendidikan politik dan sosial, sedangkan Partindo mengutamakan aksi massa sebagai senjata yang tepat untuk mencapai kemerdekaan
2. Respon Bangsa Indonesia Terhadap Kolonialisme Dan Imperialisme Dalam Bidang Ekonomi
- Bangsa Indonesia mulai mengenal industri pertambangan dengan dibukanya kilang minyak bumi di Tarakan Kaltim oleh Belanda
- Belanda membangun rel kereta api untuk memperlancar arus perdagangan
- Liberialisme ekonomi
- Eksploitasi ekonomi, monopoli dagang VOC menyebabkan mundurnya perdagangan nusantara di panggung perdagangan internasional. Peranan syahbandar digantikan oleh para pejabat Belanda
- Kebijakan tanam paksa sampai sistem ekonomi liberal menjadikan Indonesia sebagai penghasil bahan mentah.
- Berbagai upaya Eksport dilakukan oleh bangsa Belanda, pedagang perantara dipegang oleh orang timur asing terutama bangsa Cina dan bangsa Indonesia hanya menjadi pengecer, sehingga tidak memiliki jiwa wiraswasta jenis tanaman baru serta cara memeliharanya.
- Dengan dilaksanakannya politik pintu terbuka, maka pengusaha pribumi yang modalnya kecil kalah bersaing sehingga gulung tikar.
- Perkebunan di Jawa berkembang sedangkan di Sumatra kesulitan tenaga kerja sehingga dilakukan program transmigrasi.
- Untuk mendukung program penanaman modal Barat di Indonesia pemerintah Belanda membangun : Irigasi, waduk, jalan raya, jalan kereta api dan pelabuhan. Untuk pembangunan tersebut digunakan tenaga secara paksa dengan sistem rodi (kerja paksa)
- Dengan memperkenalkan sistem sewa tanah, terjadi pergeseran dari sistem ekonomi barang ke sistem ekonomi uang yang juga menyebar di kalangan petani.
Informasi di atas adalah sederet perlakuan Bangsa Belanda kepada Indonesia pada masa penjajahan, berbagai kerugian harus diderita Bangsa Indonesia khususnya di bidang ekonomi, berbagai kebijakan dari Pemerintah Hindia-Belanda maupun pada periode penguasa sebelumnya, yaitu VOC, tidak ada yang menguntungkan bagi rakyat Indonesia kebanyakan, Adapun pihak yang mendapat keuntungan, hanya segelintir
elit bangsawan yang menjadi kepanjangan dan kaki tangan pemerintah Belanda maupun penguasa VOC.
Hal tersebut memancing berbagai respon yang muncul dari Bangsa Indonesia, khususnya dalam hal bidang ekonomi, perlawanan yang lahir dari penolakan terhadap system monopoli yang dilakukan VOC maupun pemerintah Belanda.
Beberapa respon perlawanan terhadap sistem monopoli adalah sebagai berikut :
a. Perlawanan Rakyat Maluku
Belanda telah sejak lama bercokol di Kawasan Maluku, sejak 1630, Belanda telah menjadi kekuatan yang besar di Ambon, demi menegakkan hegemoni mereka di Kawasan perdagangan Indonesia, maka Belanda langsung berupaya untuk menguasai dan menduduki produsen rempah-rempah secara langsung, yaitu Kawasan Maluku, pada saat itu kekuasaan di Maluku terdiri dari banyak para raja dan gubernur-gubernur yang satu sama lain seringkali bertikai.
Sejak abad ke XVII, VOC selalu mengupayakan adanya perjanjian yang mengikat antara VOC dan para penguasa di Maluku, tuntutan VOC adalah dia diberikan hak untuk menguasai perdagangan rempah-rempah secara tunggal (monopoli) dan sebagai imbalan bagi para penguasa di Maluku, adalah uang ganti rugi yang besarannya sesuai kesepakatan, hal ini membuat VOC dan para penguasa di Maluku menjadi sejahtera, sementara kalangan petani dan pemiliki kebun cengkeh, pala dan bunga pala tidak mendapatkan keuntungan besar karena mereka harus menjual kepada VOC yang telah menentukan harga jual seenaknya.
Respon Bangsa Indonesia terhadap praktek monopoli VOC muncul dari persekutuan dari orang-orang Hitu (Ambon bagian Utara) dan pasukan Ternate yang berada di Hoalmoal dengan dukungan dari kerajaan Bangsa Makassar (Kerajaan Gowa), dengan dipimpin seorang Hitu bernama Kakiali, yang bergelar sebagai “Kapitein Hitoe”.
Kakiali adalah putera Kapitan Hitu Tepil yang ketiga setelah Raja Negeri Mamala yang bernama Halaene (putera kedua Kapitan Hitu Tepil).
Kapitan Kakiali bergelar “Kapitan Hitu” dan berketurunan dari Perdana Jamilu (Nusapati) adalah seorang dari para Perdana (pemimpin) Hitu di Jazirah Hitu Pulau Ambon. Kakiali terkenal sebagai pahlawan dalam perang Hitu I tahun 1634 – 1643 melawan penjajah Belanda (VOC). Politik monopoli perdagangan dan “hongi tochten” pada zaman VOC sangat menyengsarakan rakyat di kerajaan Hitu (Tanah Hitu).
Berbagai upaya perlawanan terhadap monopoli VOC antara lain dilakukannya dengan menyerang berbagai sekutu VOC yang menjadi kaki tangan VOC untuk menegakkan monopoli sekaligus mendukung para pedagang-pemilik perkebunan rempah untuk menjual hasil cengkeh, pala dan bunga pala kepada pihak-pihak selain VOC.
Pada tahun 1634 peperangan mulai berkobar melawan Belanda dan rakyat Hitu dibantu oleh Gimelaha Luhu dari Jasirah Hoamual di Seram Barat dan para pejuang dari Hatuhaha di Pulau Haruku dan rakyat Iha dari Pulau Saparua.
Selain itu rakyat Hitu mendapat bantuan dari Makassar dan Ternate. Setelah digempur dengan armada oleh pasukan Belanda yang dikirim dari Batavia (Jakarta), para pejuang Hitu terpaksa menyingkir dan bertahan di gunung Wawani yang dijadikan benteng pertahanan yang kuat dan dipimpin panglima Hitu Patiwani.
Pada tahun 1635 Kakiali dapat ditangkap melalui suatu tipu daya dalam perundingan dengan Belanda. Ia dibuang ke Batavia. Tahun 1637, Kakiali dipulangkan ke Hitu untuk menentramkan rakyat Hitu yang semakin bergolak.
Bersama dengan Kakiali datang pula Gubernur Jenderal van Diemen. Ia meminta bantuan Sultan Hamzah dari Ternate (politik adu domba) untuk bersama-sama melawan Hitu. Kemudian diangkatlah Gubernur Gerard Demmer. Tokoh Belanda yang keras ini mulai mengadakan serangan besar-besaran ke benteng Wawani.
Pada tahun 1643 Belanda dapat menduduki Wawani setelah perang tersebut dikosongkan pasukan Hitu dan Panglima Patiwani. Kakiali kembali menyusun siasat baru melawan Belanda dengan rencana meminta bantuan Makassar, namun dia dikhianati oleh teman-temannya sendiri.
Kakiali gugur bukan karena peluru VOC. Pada tanggal 16 Agustus 1643 seorang kenalannya yang baik yaitu Fransisco de Toire (seorang Spanyol) setelah disogok uang oleh Belanda, ia membunuh Kakiali pada saat sedang tidur. Kakiali ditikam dengan sebilah keris.
Pahlawan dari Wawani ini meninggal seketika. Namun perlawanan rakyat Hitu belum berhenti.
Peperangan diteruskan pada tahun 1643 – 1646 sebagai perang Hitu II yang dipimpin oleh Kapitan Tulukabessy dan Imam Rijali.
b. Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap Monopoli Belanda
Kehadiran orang-orang Belanda di Nusantara, termasuk di Banten pada awalnya hanya untuk berdagang, yakni menawarkan beras untuk ditukarkan dengan komoditas rempah-rempah yang laku di pasaran Eropa. Namun, dalam perdagangan itu, Belanda hendak memonopoli. Di Banten pun terdapat sebuah kantor dagang Belanda. Perkembangan kerajaan Banten tidak lepas dari dukungan kerajaan-kerajaan di pantai utara Laut Jawa, seperti Demak dan Jepara.
Bahkan sejarah Banten dapat ditelusuri lewat kehadiran Falatehan yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Hubungan antara Banten dan VOC yang semula baik berubah seiring dengan naiknya Sultan Banten Abu’l Fath Abdulfattah yang lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa menjadi raja Banten pada tahun 1651. Sultan yang duduk di tahta saat berusia 20 tahun ini tidak menyukai Belanda karena Belanda dalam pandangannya hanya merupakan penghalang perdagangan Banten.
Sultan Ageng berusaha menghalang-halangi berbagai upaya monopoli perdagangan oleh Belanda. Selain itu, orang-orang Banten juga diperintahkannya untuk melancarkan serangan-serangan gerilya terhadap kedudukan Belanda di Jakarta, baik melalui darat maupun laut.
Setelah merasa penguasa Banten mempersulit usaha monopoli Belanda di Banten, akhirnya VOC memblokir pelabuhan Banten sehingga merugikan perdagangan kerajaan Banten.
Sultan terpaksa mendekati Belanda untuk mengadakan perundingan. Perundingan itu berlangsung sangat ketat karena Belanda tetap mempertahankan keinginan perdagangan monopoli di Maluku dan Malaka yang sulit diterima oleh Banten. Akhirnya, disepakati bahwa Belanda tetap mengadakan perdagangan dengan Maluku dan membayar ganti rugi kepada Banten.
Di sisi lain, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menjalin hubungan dagang dan kerja sama dengan pedagang-pedagang Eropa bukan Belanda. Pedagang-pedagang Inggris dan Denmark misalnya, bebas membeli lada di seluruh wilayah kerajaan Banten. Dalam upaya mengimbangi monopoli perdagangan yang dilakukan Belanda, Sultan Ageng berupaya untuk memberikan berbagai kesempatan berdagang bagi seluruh bangsa Eropa yang datang ke Banten, seperti Inggris dan Perancis, hal itu dikarenakan Sultan Ageng sangat tidak setuju terhadap praktek monopoli yang dilakukan oleh Belanda.
Hubungan baik antara Inggris, Prancis dan Sultan Banten itu bagaimana pun mulai mencemaskan pihak Belanda yang kuatir kalau aliansi antara Prancis dan Sultan itu akan ditujukan ke Batavia. Di samping itu, persengketaan Belanda dengan Banten juga tidak dapat dilepaskan dari berdirinya kota Batavia yang dirintis oleh Jan Pieterszoon Coen, yang semula berpangkat Kepala Tata Buku kongsi dagang itu di Banten, kemudian di Batavia.
Berkat taktik VOC, pada tahun 1676, Banten mulai goyah. Dengan politik adu domba, Sultan Haji, putra Sultan Ageng, berhasil dipengaruhi sehingga memusuhi ayahnya. Ia memang dikenal sebagai sosok yang sangat pro-Belanda. Akibatnya, terjadi perselisihan antara anak dan ayah. Masyarakat pun terbagi dua. Sebagian tetap setia kepada Sultan Ageng, sedangkan yang lain memihak Sultan Haji.
Ketegangan dengan Belanda memuncak pada tahun 1680 dengan berakhirnya perang Trunojoyo. Sultan Ageng yang makin bertambah usianya harus menghadapi Belanda dan puteranya, Sultan Haji. Pada tanggal 27 Februari 1682 pecah perang antara Sultan Ageng dengan Belanda dan Sultan Haji. Pasukan Sultan Ageng berhasil merebut istana Sultan Haji di Surosowan. Belanda melipat gandakan kekuatan.
Dengan bantuan Belanda, Sultan Haji berhasil mempertahankan diri dengan mengikuti semua syarat yang diajukan Belanda yaitu bahwa semua orang Eropa harus meninggalkan Banten. Pada bulan Agustus 1682, Sultan Haji menandatangani perjanjian yang mengakui kekuasaan Belanda. Lama kelamaan Sultan Ageng terdesak dan kekuatannya mulai lemah, tetapi ia tidak mau menyerah kepada Belanda. Pengikut-pengikutnya yang masih setia melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman.
Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Jakarta. Beliau meninggal dunia dalam penjara dan dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja Banten di sebelah utara Masjid Agung Banten.
Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970, tanggal 1 Agustus 1970.
C. Rangkuman
1. Periode panjang penjajahan di sebagian wilayah Indonesia seringkali menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia, munculnya berbagai perlawanan dari para tokoh Bangsa Indonesia membuat gambaran betapa banga kita bukan bangsa yang diam saja ketika mengalami penindasan
2. Respon Bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan Imperialisme Belanda muncul dalam berbagai bidang antara lain, politik, ekonomi, Sosial-Budaya dan Pendidikan
3. Dalam bidang politik, muncul respon terhadap kolonialisme dan Imperialisme dalam bentuk adanya pergerakan nasional
4. Masa-masa pergerakan nasional yang dilakukan demi tercapainya cita-cita bangsa dimulai tahun 1908. Dimulai dari pergerakan yang moderat hingga radikal. Hingga pada titik tercapainya sumpah pemuda untuk menyatukan visi misi bangsa Indonesia.
5. Respon Bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan Imperialisme Belanda dalam bidang ekonomi muncul dalam bentuk perlawanan terhadap monopoli Belanda
6. Perlawanan terhadap monopoli Belanda antara lain dilakukan oleh masyarakat Hitu di Maluku dan Kesultanan Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
D. Latihan Soal
1. Alasan logis terhadap munculnya berbagai respon dari adanya praktek kolonialisme dan Imperialisme oleh Bangsa Indonesia terhadap Bangsa Indonesia adalah karena ....
A. Kolonialisme dan imperialisme Belanda menguntungkan Sebagian pihak
B. Rakyat merasa ditindas dan dilanggar hak asasi manusianya
C. Bangsa Belanda tidak mempraktekkan kolonialisme gaya baru
D. Bangsa Indonesia tidak menerima jika hanya dijadikan sebagai target pasar dari industri Belanda
E. Belanda memiliki berbagai strategi yang mengadu domba antara penguasa di Indonesia
2. Praktek Imperialisme dan Kolonialisme Belanda yang dilakukan di kawasan Indonesia pada Abad ke XVII hingga XVIII akhir dilakukan oleh perusahaan bernama …
A. EIC
B. VOC
C. Portugis
D. NGA
E. KPM
3. Dalam respon Bangsa Indonesia terhadap kolonialisme di bidang politik, muncul berbagai organisasi politik, yang sesuai periode perkembangannya dapat dibagi menjadi beberapa periode, antara lain adalah ...
A. Masa konsolidasi-Aksi-Reaksi
B. Masa penetrasi-penyusupan-agitas
C. Masa penyusunan-radikal/nonkooperasi-Moderat
D. Peride perlawanan dan periode pembentukan dasar negara
E. Sebelum abad XX dan sesudah abad XX
4. Sebagai salah satu organisasi pertama yang berciri khas modern, Budi Utomo masih dapat dikatakan bersifat kedaerahan pada awalnya, hal tersebut dikarenakan tujuan Budi Utomo pada awalnya terbatas pada …
A. Pemajuan kebudayaan orang Jawa dan Madura
B. Kemerdekaan para kaum pelajar Jawa
C. Hanya boleh diikuti oleh orang Jawa
D. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pendirian Budi Utomo hanya orang Jawa
E. Ketua Organisasi Budi Utomo adalah orang dari suku bangsa Jawa
5. Organisasi Sarekat Islam adalah sebuah bentuk respon dalam bidang politik terhadap kolonialisme dan imperialisme Belanda di Indonesia, namun demikian, Sarekat Islam memiliki akar organisasi yang bermotif ekonomi, hal tersebut dikarenakan …
A. Sarekat Islam pada awalnya menentang berbagai bentuk monopoli yang dilakukan oleh VOC di Kawasan Indonesia bagian timur
B. Sarekat Islam didirikan sebaga bentuk kekecewaan masyarakat pedagang Solo terhadap kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda yang mengeluarkan kenaikan pajak pertambahan nilai bagi komoditas kain batik
C. Sarekat Dagang Islam, merupakan cikal bakal organisasi Sarekat Islam yang didirikan oleh para pedagang
D. Sarekat Islam merupakan organisasi yang berkembang dari Sarekat Dagang Islam yang memiliki motif untuk memajukan dunia perdagangan di kalangan Masyarakat Islam di Batavia
E. Sarekat Islam berasal dari organisasi Sarekat Dagang Islam yang bertujuan untuk membantu pedagang pribumi dalam menghadapi dominasi pedagang Tionghoa
6. Daerah di Indonesia yang bagaikan “mutiara dari timur” adalah...
A. Aceh
B. Sumatera
C. Ternate
D. Maluku
E. Malaka
7. Semangat nasionalisme kaum terpelajar dalam membangun kesadaran politik skala nasional pada masa pergerakan kemerdekaan seperti yang dilakukan oleh Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) didasarkan pada...
A. Aksi massa yang dapat dikumpulkan akibat rasa senasib
B. Rendahnya kesadaran politik bangsa Indonesia
C. Kolonial Belanda membatasi kesempatan pribumi untuk terpelajar
D. Corak pendidikan nasional berlatar belakang Barat dan terbatas
E. Pendidikan kolonial tidak bergantung pada masyarakat pribumi.
8. Perlawanan terhadap monopoli rempah-rempah yang dilakukan VOC hadir di Kawasan Maluku yang dipimpin oleh Kakiali dan Telukabessy, dalam bentuk ...
A. Penyelundupan berbagai barang dagangan kepada pihak selain VOC
B. Pembakaran pohon cengkeh
C. Penyerangan terhadap Batavia dan kapal dagang asing
D. Pembakaran Bendera Belanda di Benteng Rotterdam
E. Aksi mogok massal yang dilakukan para petani cengkeh
9. Upaya yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa dalam menghambat upaya monopoli dari VOC antara lain adalah dengan cara ...
A. Membuka peperangan terbuka di Batavia
B. Memberi kewenangan pada Perancis dan Inggris untuk menghancurkan pos-pos dagang Belanda di sekitar Banten
C. Menjalin hubungan dagang dengan pihak selain VOC, seperti Inggris dan Perancis
D. Memusnahkan berbagai barang dagangan yang diinginkan oleh Belanda (VOC)
E. Menjalin sekutu dengan berbagai kerajaan di Indonesia seperti Mataram dan Palembang.
10. Upaya Belanda dalam menghadapi berbagai respon Bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan Imperialisme yang dilakukannya seringkali dengan politik yang dikenal sebagai politik belah bamboo, yaitu dengan cara …
A. Menginjak satu pihak dan mengangkat pihak lain (adu domba)
B. Mendekati para pemimpin di suatu Kawasan dan menipunya
C. Memerangi secara sporadis terhadap seluruh penguasa di Indonesia
D. Menjatuhkan sanksi berat kepada tokoh-tokoh yang berani melawan
E. Melakukan blockade dan mengisolir suatu kerajaan akibat tidak mau
bekerjasama dengan VOC
KIRIMKAN JAWABAN ANDA KEPADA GURU MELALUI WHATSAPP