KEGIATAN PEMBELAJARAN 2 KONFLIK DI EROPA, AFRIKA, DAN AMERIKA LATIN
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca modul berjudul Konflik-konflik di Berbagai Belahan Dunia kalian diharapkan dapat:
1. Menjelaskan latar belakang terjadinya konflik-konflik di Eropa, Afrika, dan Amerika Latin.
2. Menjelaskan jalannya konflik-konflik di Eropa, Afrika, dan Amerika Latin.
3. Menyebutkan tokoh-tokoh yang berperan konflik-konflik di Eropa, Afrika, dan Amerika Latin.
4. Menjelaskan jalan keluar yang ditempuh untuk meredakan konflik-konflik di Eropa, Afrika, dan Amerika Latin.
5. Menyajikan hasil analisis tentang konflik-konflik di Eropa, Afrika, dan Amerika Latin dalam bentuk tulisan dan/atau media lain
B. Uraian Materi
1. Konflik di Eropa
a. Konflik Bosnia dan Herzegovina
Bosnia dan Herzegovina atau cukup disebut Bosnia merupakan sebuah negara republik di semenanjung Balkan. Negara Bosnia didiami oleh tiga kelompok etnik utama, yaitu etnik Bosnia, Serbia, dan Kroasia.
Negara Bosnia merupakan bekas wilayah dari negara besar Yugoslavia yang dipimpin oleh Joseph Broz Tito.
Sejak meninggalnya Presiden Tito pada tahun 1980, negara-negara bagian Yugoslavia mulai terpecah dan menuntut kemerdekaan, salah satunya adalah wilayah Bosnia.
Pada bulan Maret 1992, Bosnia menyatakan kemerdekaannya melalui referendum yang diikuti oleh etnik Bosnia, etnik Kroasia dan pendukung kemerdekaan Bosnia. Pada April 1992, organisasi Uni Eropa mengakui kemerdekaan Bosnia yang disusul oleh Amerika Serikat.
Namun kemerdekaan Bosnia ini diboikot oleh etnik Serbia. Kemerdekaan ini juga dianggap tidak sah karena pemerintah Yugoslavia menolaknya.
Penolakan ini atas dasar pemikiran Slobodan Milosevic yang ingin menyatukan kembali wilayah-wilayah Yugoslavia sepeninggal Tito. Slobodan Milosevic merupakan golongan etnik Serbia yang berhaluan ultranasionalis yang telah terpilih menjadi presiden negara bagian Serbia. la memiliki ambisi untuk mengubah Yugoslavia menjadi "Serbia Raya", sebuah negara yang penduduknya hanya diisi oleh etnis Serbia.
Penolakan atas tuntutan kemerdekaan Bosnia juga direspons oleh pemerintah Yugoslavia dengan mempersenjatai orang-orang Serbia beserta para milisi yang tinggal di Bosnia untuk menguasai sepenuhnya tanah Bosnia. Perang antara etnik Bosnia-Kroasia melawan Serbia pun akhirnya tidak dapat dihindari.
Pasukan militer Yugoslavia yang dibantu oleh milisi Serbia memulai invasinya ke ibukota Sarajevo di Bosnia. Pasukan Serbia unggul dalam hal persenjataan dan pasukan, sehingga mereka sukses menduduki area di sekitar Sarajevo. Di wilayah-wilayah penaklukan pasukan Serbia inilah, terjadi pembunuhan, penyiksaan hingga pemerkosaan terhadap warga Bosnia dan Kroasia.
Pada Mei 1992, PBB akhirnya turun tangan dan menjatuhkan sanksi dan embargo internasional terhadap Yugoslavia. PBB juga membentuk pasukan perdamaian bagi Bosnia (UNPROFOR). Pada bulan April 1993, NATO di bawah pengawasan PBB juga menerapkan zona larangan terbang di atas wilayah Yugoslavia. Selanjutnya PBB mengumumkan pendirian "zona aman PBB" yang tidak boleh dimasuki oleh pasukan bersenjata dan sebagai daerah penampungan warga sipil Bosnia. Zona aman PBB tersebut meliputi wilayah Sarajevo, Srebrenica, Gorazde, Tuzla, Zepa, dan Bihac.
Sanksi embargo terhadap Yugoslavia membuat situasi negara Yugoslavia mengalami krisis ekonomi. Pasukan Serbia dibawah perintah Yugoslavia, kemudian menargetkan penyerangan terhadap zona aman PBB. Pasukan Serbia berhasil menaklukkan dua wilayah yang termasuk zona aman PBB yaitu wilayah Tuzla dan Srebrenica.
Pembantaian kembali dilakukan oleh pasukan Serbia terhadap etnik Bosnia dan Krosia di Srebrenica.
Aksi penyerangan dan pembantaian yang dilakukan pasukan etnis Serbia di zona-zona aman PBB membuat PBB dan NATO geram. Sejak bulan Agustus 1995, pasukan PBB dan NATO melakukan operasi militer gabungan untuk menghancurkan basis-basis militer pasukan Serbia di Bosnia. Berbagai wilayah Serbia dan ibukota Beogard juga menjadi sasaran pasukan PBB-NATO untuk melumpuhkan pasukan Serbia. Slobodan Milosevic selaku pemimpin dari pasukan etnik Serbia menyatakan menyerah dan bersedia mengikuti perundingan damai.
Tanggal 14 Desember 1995, pihak Serbia dan Bosnia-Kroasia melakukan perundingan di bawah pengawasan PBB dan mencapai kesepakatan perdamaian yang disebut Perjanjian Dayton. Perjanjian Dayton ditkaliantangani oleh Presiden Serbia Slobodan Milosevic, Presiden Bosnia Alija Izetbegovic, dan pemimpin Kroasia, Franjo Tudjman setelah melewati tiga pekan negosiasi.
b. Konflik Nagorno-Karabakh
Nagorno-Karabakh merupakan wilayah di kawasan pegunungan Kaukasus yang diapit oleh laut Hitam dan laut Kaspia. Nagorno-Karabakh menjadi wilayah yang dipersengketakan oleh negara Armenia dan negara Azerbaijan. NagornoKarabakh terletak di wilayah strategis karena merupakan jalur darat yang menghubungkan kawasan Timur Tengah dengan Eropa Timur. Pegunungan Kaukasus juga menyimpan kekayaan barang tambang, salah satunya minyak bumi.
Secara geografis, wilayah Nagorno-Karabakh terletak di wilayah Azerbaijan, namun komposisi penduduknya didominasi oleh etnis Armenia. Wilayah Armenia dan Azerbaijan pernah menjadi daerah kekuasaan Uni Soviet. Uni Soviet menjadikan dua wilayah tersebut sebagai negara federasi dan memutuskan wilayah Nagorno-Karabakh masuk sebagai wilayah resmi dari Azerbaijan.
Konflik memperebutkan wilayah Nagorno-Karabakh muncul ketika Mikhail Gorbachev kala menjadi presiden Uni Soviet pada tahun 1985 mengeluarkan kebijakan Glasnot dan Perestroika.
Salah satu kebijakan tersebut yaitu Glasnot, memuat adanya kebebasan pada masing-masing wilayah Uni Soviet untuk menentukan masa depannya sendiri. Armenia dan Azerbaijan pun akhirnya memerdekakan diri dan menjadi negara berdaulat.
Akibatnya, muncul perang perebutan wilayah Nagorno-Karabakh antara negara Armenia dan Azerbaijan.
Secara garis besar, perang tersebut terbagi ke dalam dua fase, yaitu fase I (1988-1991) dan fase II (1992-1994).
1. Fase (1988-1991)
Fase I disebut juga sebagai fase konflik antaretnis. Fase ini ditkaliani dengan konflik tertutup antara etnis Armenia dan Azerbaijan atas wilayah NagornoKarabakh. Pada fase I ini, negara-negara tersebut masih merupakan bagian dari Uni Soviet. Namun setelah muncul kebijakan Glasnost, sengketa atas Nagorno-Karabakh kemudian berubah menjadi konflik terbuka antaretnis.
Konflik pada fase I ini cenderung masih berupa kontak senjata yang intensitas dan ruang lingkupnya masih terbatas.
2. Fase II (1992-1994)
Fase II disebut juga sebagai fase konflik antarnegara. Konflik ini bermula
ketika Uni Soviet runtuh dan wilayah Armenia dan Azerbaijan menjadi negara berdaulat. Dampak dari kemerdekaan dua negara ini adalah munculnya saling klaim atas hak wilayah Nagorno-Karabakh. Armenia menganggap NagornoKarabakh sebagai bagian dari wilayahnya karena wilayah tersebut dihuni oleh mayoritas etnis Armenia. Sedangkan Azerbaijan tetap mengklaim NagornoKarabakh sebagai bagian resmi dari wilayahnya seperti saat masih menjadi bagian dari Uni Soviet.
Fase II ini merupakan fase perang terbuka antarnegara karena masing-masing pihak menerjunkan pasukan militer dan berbagai persenjataan beratnya.
Perang berakhir pada tahun 1994 dengan kemenangan etnis Armenia, namun persengketaan atas status Nagorno-Karabakh tetap berlanjut hingga sekarang karena belum mencapai titik temu atas solusi yang baik bagi kedua negara.
c. Konflik di Ukraina
Ukraina merupakan salah satu negara bekas pecahan Uni Soviet yang berada di kawasan Eropa Timur. Penduduk Ukraina terbagi ke dalam dua kelompok etnis utama yaitu kelompok etnis Ukraina yang populasinya terkonsentrasi di Ukraina Barat dan Utara, serta kelompok etnis Rusia yang populasinya terkonsentrasi di Ukraina Timur dan Selatan.
Pada tahun 2010, Ukraina dipimpin oleh Presiden Viktor Yanukovych yang berasal dari etnis Rusia. Presiden Viktor Yanukovych merupakan pemimpin Ukraina yang memiliki basis pendukung besar dari penduduk Ukraina Timur dan Selatan. Kebijakan- kebijakan politik yang dibuatnya pun cenderung condong ke Rusia dan menguntungkan Rusia.
Rakyat Ukraina menuntut agar pemerintah Ukraina bergabung dalam kerja sama dagang dengan Uni Eropa. Rakyat menganggap bahwa kerja sama dengan Uni Eropa akan lebih memajukan Ukraina dari pada harus bekerja sama dengan Rusia.
Namun pada akhir tahun 2013, Presiden Yanukovych membatalkan kesepakatan dagang antara Ukraina dan Uni Eropa dengan alasan mendapatkan tekanan dari Rusia. Pembatalan ini menimbulkan kekacauan dan mendapatkan kecaman dari rakyat. Rakyat Ukraina kemudian melakukan demonstrasi memprotes keputusan Presiden Yanukovych di ibukota Kiev.
Parlemen Ukraina akhirnya memutuskan untuk mengabulkan tuntutan para demonstran dan melengserkan Yanukovych pada bulan Februari 2014.
Lengsernya presiden yang pro-Rusia ini dianggap oleh Rusia sebagai ancaman kepentingan ekonomi dan keamanan negaranya karena Ukraina tentu akan ikut terlibat dan berhubungan dengan NATO. Kekacauan di ibukota terus menjalar hingga ke Crimea, Ukraina Selatan yang dihuni oleh mayoritas penduduk proRusia.
Di Crimea inilah terdapat pangkalan militer Rusia dan para milisi yang pro-Rusia.
Pada Maret 2014 sejumlah milisi pro-Rusia menyandera gedung pemerintahan setempat dan menggelar referendum secara sepihak yang dimenangkan milisi pro-Rusia.
Sejumlah milisi pro-Rusia yang berada di provinsi Donetsk dan Luhansk (wilayah Ukraina Timur yang berbatasan dengan Rusia) melancarkan aksi serupa dengan menduduki gedung-gedung pemerintahan setempat.
Para milisi yang berhasil menduduki gedung pemerintahan ini, kemudian mendeklarasikan negara Republik Rakyat Donetsk (di provinsi Donetsk) dan Republik Rakyat Luhansk (di provinsi Luhansk). Deklarasi kemerdekaan ini langsung mendapatkan tanggapan penolakan dari pemerintah pusat Ukraina. Ukraina menyerukan ancaman akan menurunkan pasukan ke Ukraina Timur, jika kedua provinsi tersebut tidak mau membatalkan deklarasinya.
Hingga 15 April, ultimatum dari pemerintah Ukraina untuk membatalkan deklarasi tidak diindahkan oleh milisi di Ukraina Timur. Pemerintah Ukraina akhirnya mengirimkan pasukannya ke Ukraina Timur untuk menundukkan kaum separatis yang dipimpin oleh milisi pro-Rusia. Penyerangan ke Ukraina Timur ini sekaligus mengawali perang saudara di Ukraina, yang juga disebut Perang Donbass.
Perang Donbass menjadi perang besar antara Ukraina dengan milisi dari pihak separatis yang didukung oleh Rusia. Wilayah Ukraina Timur khususnya daerah Donetsk dan Luhansk menjadi medan tempur. Hingga akhir bulan September 2014 jumlah korban tewas akibat Perang Donbass dilaporkan sudah menembus angka 3.500 jiwa lebih. Perang tersebut juga membuat lebih dari 1 juta penduduk Ukraina Timur mengungsi. Sementara itu, perang ini juga membuat hubungan antara Rusia dan negara-negara Barat pro-Ukraina menegang, dan berakibat pada saling menjatuhkan sanksi ekonomi.
2. Konflik di Afrika
a. Konflik Kongo
Republik Demokratik Kongo merupakan salah satu negara di Afrika yang memiliki kekayaan alam berupa sumber mineral yang sangat dibutuhkan untuk industri. Wilayah Kongo telah menjadi medan perebutan sejak periode Perang Dingin bahkan agen CIA juga turut terlibat dalam perebutan tersebut.
Sebelumnya, negara Kongo bernama Zaire dan dibawah pemerintahan Mobutu Sese Seko yang pro-Amerika. Mobutu telah mengeksploitasi sumber kekayaan negeri Zaire selama 30 tahun dan hasilnya hanya dinikmati oleh segelintir elit dan rezim yang berkuasa.
Pada dekade 90-an, muncullah kekecewaan dan ketidakpuasan dari rakyat terhadap rezim Mobutu yang korup ditambah dengan kondisi ekonomi Zaire yang hancur.
Ketidakpuasan tersebut melahirkan sikap berontak dari pihakpihak oposisi, salah satunya adalah pemberontakan Popular Revolutionary Party (PRP, Partai Revolusioner Populer) di bawah pimpinan Laurent-Desire Kabila.
PRP kemudian bergabung dengan kelompok pemberontak dan milisi suku Tustsi yang anti-Mobutu dan membentuk aliansi baru bernama Alliance des Forces Democratiques pour la Liberation du Congo-Zaire (AFDL-CZ, Aliansi Pasukan Demokratik untuk Pembebasan Kongo-Zaire). AFDL juga mendapatkan dukungan pasukan tentara dari negara Angola, Burundi, Rwkalian, Ugkalian untuk menumbangkan rezim Mobutu. Perang tak terhindarkan antara pasukan gabungan AFDL dengan pemerintah Zaire.
Konflik Kongo ini secara garis besar terbagi menjadi dua periode, yaitu Perang Kongo I dan Perang Kongo II.
a. Perang Kongo I (1996-1997)
Perang Kongo I terjadi antara pasukan Zaire dengan pasukan dari AFDL dan milisi anti-Mobutu. Dengan demikian pasukan dari negara Zaire harus menghadapi gabungan kekuatan dari empat negara sekaligus yaitu Angola, Burundi, Rwkalian, dan Ugkalian. Pasukan gabungan ini secara perlahan berhasil merebut daerah Zaire di wilayah timur hingga menuju ibukota Zaire, Kinshasa. Pertempuran berat terjadi di sekitar ibukota antara pasukan gabungan AFDL dengan pasukan Zaire yang dibantu oleh milisi pro-Mobutu dari Angola.
Korban jiwa yang timbul akibat pertempuran tersebut mencapai 300 ribu orang lebih dan menjadikan salah satu peristiwa pertempuran paling berdarah selama Perang Kongo I. Pasukan gabungan AFDL berhasil menumbangkan rezim Mobutu dan menduduki ibukota Zaire di Kinshasa.
Laurent-Desire Kabila selaku pemimpin kelompok AFDL, kemudian mengambil alih pemerintahan dan menjadi presiden Zaire. Dalam mengawali pemerintahan yang baru, Laurent-Desire Kabila mengganti nama Zaire menjadi Republik Demokratik Kongo (RDK).
b. Perang Kongo II (1996-1997)
Perang Kongo II dilatarbelakangi oleh berubahnya sikap dan kebijakan Presiden Laurent-Desire Kabila terhadap negara-negara sekutu yang membantu dalam menggulingkan rezim Mobutu. Presiden Kabila merasa bahwa negara Rwkalian dan Ugkalian telah melakukan eksploitasi mineral vang ada di wilayah timur Republik Demokratik Kongo (RDK) untuk kepentingan mereka sendiri.
Kabila juga memerintahkan seluruh pasukan Rwkalian maupun Ugkalian meninggalkan negara RDK. Akhirnya hubungan antara RDK dengan Rwkalian dan Ugkalian merenggang.
Pihak Rwkalian dan Ugkalian berbalik arah memusuhi Presiden Kabila dengan membantu etnis Banyamulenge di RDK timur untuk merongrong rezim Kabila dengan jalan pemberontakan. Etnis Banyamulenge merupakan etnis yang bermukim di wilayah RDK timur dan memiliki hubungan yang kurang baik dengan pemerintah RDK pusat. Pada Tanggal 2 Agustus 1998, komunitas etnis Banyamulenge membentuk kelompok pemberontak antiKabila yang bernama Rassemblement Congolais pour la Democratie (RCD, Pekumpulan untuk Demokrasi Kongo).
Pihak pemerintah Rwkalian dan Ugkalian mendukung pemberontakan tersebut dan mengirimkan pasukannya untuk membantu RCD. Pasukan gabungan ini kemudian melakukan pemberontakan di kota Goma, RDK timur. Dalam waktu singkat, pasukan gabungan yang sama-sama anti-Kabila tersebut berhasil merebut kota-kota penting di RDK timur.
Presiden Kabila menyerukan kepada para penduduk untuk mempersenjatai diri untuk melawan pasukan gabungan RCD. Presiden juga pergi ke luar negeri mencari dukungan dari negara-negara di Afrika. Empat negara Afrika, Angola, Chad, Namibia, dan Zimbabwe bersedia mengirimkan pasukan untuk membantu negara RDK.
Pertempuran berskala besar tidak terhindarkan antara pasukan gabungan RDK, Angola, Chad, Namibia, dan Zimbabwe melawan pasukan gabungan pemberontak dari RCD, Rwkalian dan Ugkalian. Pertempuran kedua belah pihak tidak berlangsung secara frontal, melainkan lebih bersifat gerilya.
Akibat pertempuran yang melibatkan beberapa kelompok dan negara ini, warga sipil menjadi korban paling besar akibat perampasan, pelecehan, bahkan pembantaian. Ekosistem hutan dan satwa juga tidak luput dari perusakan yang dilakukan oleh kedua pasukan. Perang yang berlarut-larut dan tidak jelas, akhirnya menemui jalan buntu. Pihak-pihak yang terlibat perang sepakat untuk berunding pada Juni 1999 di Lusaka, Zambia.
Negara yang mengikuti perundingan (RDK, Angola, Namibia, Zimbabwe, Rwkalian, dan Ugkalian) kemudian sepakat untuk mengakhiri konflik bersenjata.
Meskipun demikian, baku tembak dalam skala kecil masih terus terjadi antara milisi pro-Kabila melawan milisi anti-Kabila.
b. Konflik Sudan
Sudan merupakan salah satu negara yang terletak di wilayah Timur Laut Afrika. Sudan berbatasan dengan Mesir di sebelah Utara, Laut Merah di sebelah Timur, Kongo dan Republik Afrika Tengah di sebelah Barat Daya, serta Libya di sebelah Barat Laut. Negara Sudan memiliki jumlah penduduk sekitar 37,28 juta jiwa pada tahun 2013/2014 dengan luas wilayahnya sekitar 1.88 juta km. Sudan juga memiliki kekayaan sumber daya alam strategis, antara lain emas, granit, biji besi, perak, uranium, hingga gas alam dan minyak bumi.
Sudan terdiri dari dua etnis berbeda yang rawan menjadi pemicu konflik sipil. Di Sudan bagian utara, mayoritas penduduknya berasal dari etnis Arab dengan mata pencaharian yang beragam, meliputi pegawai, nelayan, petani dan lain sebagainya yang mendukung perkembangan. Sedangkan di Sudan bagian selatan, terdiri dari mayoritas etnis Afrika (Negro) yang armata pencaharian sebagai petani dan penggembala. Pembangunan dan tingkat pendidikan di Sudan selatan relatif rendah dari Sudan bagian utara. Hal inilah yang membuat wilayah Sudan selatan kurang maju dan tertinggal.
Konflik mulai muncul antara pemerintah Sudan pusat di utara dengan para kelompok bersenjata dari Sudan selatan yang menginginkan keadilan. Kelompok bersenjata tersebut bernama Sudan People's Liberation Army (SPLA, Tentara Pembebasan Rakyat Sudan) dan dipimpin oleh John Garang de Mabior. Awal konflik dipicu atas keputusan Presiden Nimeiry pada tahun 1983 yang mengumumkan akan menjalankan hukum Islam sebagai peraturan nasional dan berlaku untuk seluruh wilayah Sudan. Hal ini membuat kelompok SPLA mengangkat senjata dan menuduh Presiden Nameirey memicu perpecahan etnis di Sudan.
Pada tahun 1985, Presiden Nimeiry lengser dari jabatannya akibat terjadi
kudeta. Setahun setelahnya, tahun 1986 diadakanlah pemilihan umum di seluruh Sudan untuk mendapatkan pemerintahan demokratik Sudan yang baru.
Pemerintah terpilih kemudian mengadakan perundingan damai dengan SPLA dengan agenda mengakhiri darurat nasional. SPLA juga menuntut pemerintah Sudan berhenti memasukkan hukum Islam ke dalam Undang-Undang nasional Sudan. Perundingan tidak mencapai kesepakatan karena tuntutan tersebut tidak dapat diterima oleh kelompok beraliran religius bernama National Islamic Front (NIF, Front Islamis Nasional).
Konflik dan pertempuran antara pemerintah Sudan dan SPLA terus berlangsung hingga memasuki tahun 90-an. Pemerintah Sudan mendapat suplai persenjataan dari Uni Soviet dan selanjutnya mendapatkan suplai persenjataan baru dari Cina.
Sementara SPLA mengkalianlkan suplai persenjataan dari Israel dan negara tetangga Sudan di selatan seperti Ugkalian, dari Ethiopia, dan Eritrea bahkan Amerika.
Memasuki tahun 1991, kondisi konflik di Sudan semakin kompleks karena kelompok antipemerintah baru bernama National Democratic Alliance (NDA, Aliansi Demokratik Nasional) yang anggotanya terdiri dari partai oposisi dan kelompok etnis di Sudan Utara. Kemunculan NDA membuka front perang baru di Sudan sehingga perang sipil di Sudan berubah menjadi konflik 3 kubu, yaitu Sudan Tengah (pemerintahan pusat Sudan), Sudan Selatan (SPLA), dan Sudan Timur Laut (NDA).
Terlepas dari semakin kompleksnya perang di Sudan, upaya untuk mencapai kesepakatan damai terus dilakukan dari berbagai pihak. Tepatnya pada Januari 2002, diputuskan untuk melakukan gencatan senjata antara pemerintah Sudan dengan SPLA dan untuk selanjutnya dilakukan perundingan damai bersama.
Perjanjian damai pun tercapai pada tahun 2005 di Nairobi, Kenya, Afrika timur. Pada Januari 2011 diadakan referendum yang menghasilkan keputusan kemerdekaan bagi Sudan Selatan, Salva Kiir Mayardit sebagai presidennya.
Meskipun antara Sudan Utara dan Sudan Selatan telah melakukan perdamaian, namun Sudan masih dibayangi oleh beragam konflik dan perang sipil akibat beragam perbedaan, ketidakpuasan dengan pemerintah, maupun adanya motif kepentingan asing yang ingin mengambil keuntungan dari kekayaan alam Sudan.
c. Konflik Somalia
Somalia adalah sebuah negara yang terletak di Tanduk Afrika. Disebut demikian karena Somalia terletak di semenanjung Benua Afrika bagian timur.
Somalia juga memiliki daerah pesisir yang menghadap ke dua sisi. Pada pesisir sebelah utara, menghadap ke Teluk Aden dan pesisir sebelah timur, menghadap ke Samudra Hindia. Sedangkan di daerah daratan, negara ini berbatasan dengan negara Kenya, Dibouti, dan Ethiopia. Luas wilayah Somalia mencapai 637.657 km dan ditinggali oleh beragam suku berbeda.
Keragaman suku yang tinggal di Somalia tidak diimbangi dengan persatuan dan keharmonisan. Perbedaan dan keragaman suku di Somalia cenderung menjadi penyebab munculnya konflik dan perang sipil. Ketidakharmonisan ini antara lain disebabkan oleh perebutan kekuasaan, pasokan air, dan daerah yang memiliki sumber daya alam.
Konflik di Somalia sudah berlangsung sejak tahun 1988, dan berkembang menjadi perang sipil pada tahun 1991 yang bahkan masih berlangsung hingga sekarang. Konflik yang berujung perang sipil di Somalia ini dapat dikatakan sangat rumit dan kompleks karena banyaknya pihak yang terlibat perang dengan kepentingan masing-masing.
Sejak tahun 1969, Somalia dipimpin oleh Muhammad Siad Barre yang memerintah secara otoriter. Kondisi domestik Somalia juga semakin memburuk akibat merosotnya perekonomian negara dan semakin jenuhnya rakyat terhadap gaya pemerintahan otoriter rezim Barre. Kepemimpinan Barre ini kemudian memunculkan kelompok-kelompok pemberontak yang berusaha menggulingkannya.
Beberapa kelompok pemberontak yang menentang rezim Barre di antaranya:
1) Somali Salvation Democratic Front (SSDF, Front Demokratik Keselamatan Somalia)
2) Somali National Movement (SNM, Gerakan Nasional Somalia)
3) Somali Patriot Movement (SPM, Gerakan Patriot Somalia)
4) United Somali Congress (USC, Dewan Somalia Bersatu).
Banyaknya kelompok pemberontak berhasil menggulingkan rezim Barre pada tahun 1991. Sejak lengsernya Barre dari tampuk kepemimpinan inilah kondisi Somalia semakin kacau dan dimulailah perang sipil Somalia. Kelompok pemberontak yang dulu memiliki satu misi untuk menggulingkan rezim Barre kemudian saling berebut tampuk kepemimpinan atas Somalia.
Akhirnya melahirkan sebuah negara dalam negara, karena kelompok-kelompok tersebut mendeklarasikan negara di atas wilayah yang dikuasainya, berikut di antaranya:
1) Somali National Movement (SNM, Gerakan Nasional Somalia) berhasil
mendeklarasikan berdirinya negara sempalan yang bernama "Republik
Somaliland" di Somalia utara.
2) Somali Salvation Democratic Front (SSDF, Front Demokratik Keselamatan Somalia), menguasai wilayah sebelah timur Somaliland dan mendeklarasikan berdirinya negara "Puntland".
3) Somali National Front (SNF, Front Nasional Somalia), kelompok bekas
pasukan rezim Barre, menguasai daerah ujung Somalia dan mendeklarasikan negara "Jubaland".
4) United Somali Congress (USC, Dewan Somalia Bersatu), menguasai ibukota Somalia di Mogadishu dan beberapa wilayah Somalia tenggara.
5) Transitional Federal Government (TFG, Pemerintahan Federal Transisi), kelompok yang didirikan oleh panglima perang dan beraliansi dengan para pemimpin kelompok bersenjata Somalia berhasil membentuk pemerintahan sementara negara Somalia yang mendapat pengakuan internasional.
6) Islamic Courts Union (ICU, Uni Pengadilan Islam), kelompok hasil peleburan dari 11 kelompok Islamis lokal yang menguasai daerah selatan Somalia.
Perang antarsempalan negara dan kelompok-kelompok militer tersebut diperparah dengan keterlibatan negara lain yang menerjunkan pasukan untuk menangkal peperangan yang merembet ke negaranya, di antaranya adalah negara Kenya dan negara Ethiopia yang beraliansi dengan TFG.
Pasukan perdamaian PBB maupun pasukan perdamaian yang dibentuk oleh Afrika yang disebut An African union Mission in Somali (AMISOM) pun belum mampu menyelesaikan perang sipil yang terjadi di Somalia. Sedangkan korban terus berjatuhan akibat perang, kelaparan, dan penyakit akibat buruknya kondisi di Somalia.
d. Konflik Afrika Tengah
Republik Afrika Tengah merupakan sebuah negara yang terletak di tengah benua Afrika. Negara Republik Afrika Tengah dipimpin oleh presiden Francois Bozize yang berhasil memerintah Afrika Tengah sejak tahun 2003 melalui kudeta militer. Naiknya Bozize menjadi penguasa Afrika Tengah, memunculkan respons ketidakpuasan dan pemberontakan dari telompok-kelompok kontra-pemerintah.
Munculnya kelompok-kelompok kontra-pemerintah tersebut, juga dilatarbelakangi atas ketidakpuasan mereka atas isu praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta tindakan ekploitasi tambang berlian di Afrika Tengah untuk kepentingan Bozize sendiri.
Beberapa kelompok yang melakukan pemberontakan terhadap rezim Bozize di antaranya adalah Union des Forces Democratiques pour le Rassemblement (UFDR, Persatuan Pasukan Perdamaian untuk Kesatuan) yang berasal dari etnis Ronga dan Convention of Patriots for Justice and Peace (CPJP, Konvensi Patriot untuk Keadilan dan Perdamaian yang berasal dari etnis Goula). Aksi pemberontakan kelompok tersebut, kemudian direspons oleh rezim Bozize dengan mengerahkan pasukan militer dan meletuslah "Perang Belukar Afrika Tengah".
Perang Belukar akhirnya berhenti pada tahun 2007 dengan perjanjian damai di kota Birao antara pihak pemerintah Afrika Tengah dengan pemberontak. Dalam perjanjian damai tersebut, disepakati bahwa persenjataan pemberontak harus diserahkan kepada pemerintah dan bekas pasukan pemberontak akan dilebur menjadi tentara resmi negara Afrika Tengah. Namun pemerintah dianggap telah mengingkari poin kesepakatan perjanjian damai karena tidak kunjung mewujudkan perekrutan bekas pasukan pemberontak menjadi tentara Afrika Tengah.
Pada tahun 2012, muncullah kelompok pemberontak baru bernama Convention Patriotique pour le Salut du Kodro (CPSK, Rapat Patriotik untuk Menyelamatkan Negara) akibat kekecewaannya terhadap rezim Bozize. Kelompok pemberontak CPSK tersebut kemudian membentuk aliansi dengan kelompok pemberontak sebelumnya UFDR dan CPJP dan terbentuklah "Seleka (aliansi) CPSK-CPJPUFDR", Pasukan pemberontak Seleka semakin diuntungkan dengan masuknya persenjataan ke Afrika Tengah dari negara-negara disekitarnya yang juga sedang dilkalian konflik seperti Kongo dan Sudan.
Lahirnya pemberontak Seleka, menjadi pemicu perang sipil di Afrika Tengah yang berakibat pada krisis perkembangan sosial politik di negara tersebut.
Seleka memulai aksi pemberontakannya sejak Desember 2012 dengan berturutturut menyerang dan menguasai kota-kota strategis di Afrika Selatan. Rezim Bozize yang sudah kewalahan, kemudian meminta bantuan pasukan dari negaranegara asing. Pada akhir tahun 2012 berbagai negara ikut terlibat dan mengirimkan pasukan ke Afrika Tengah, di antaranya negara Chad dan Perancis.
Pada Januari 2013, masuk pula bantuan pasukan dari Kamerun, Gabon, Kongo, dan Afrika Selatan ke dalam ibukota Afrika Tengah.
Pada bulan Januari 2013 itu juga diputuskanlah untuk melakukan gencatan senjata akibat semakin kompleksnya konflik dan beratnya medan pertempuran.
Perjanjian damai ditkaliantangi di Libreville, Gabon dengan poin penting bahwa pasukan Seleka harus direkrut menjadi tentara negara Afrika Tengah dan presiden Bozize harus mengundurkan diri dari presiden Afrika Tengah, serta segera diadakannya pemilu legislatif baru. Setelah perjanjian damai berhasil diwujudkan, muncul konflik kembali dari internal Seleka untuk memutuskan pemimpin baru bagi Afrika Tengah. Hingga saat inipun negara Afrika Tengah masih dilkalian konflik akibat perebutan kekuasaan dan SARA.
3. Konflik di Amerika Latin
a. Konflik di Kolombia
Kolombia merupakan sebuah negara di Amerika Latin yang terletak di wilayah paling utara. Kolombia sejak dahulu dikenal sebagai negara yang sering terjadi konflik bersenjata bahkan hingga kini masih sering terjadi.
Konflik bersenjata di Kolombia berawal sejak tahun 1920-an, dimulai dengan gelombang protes dari para petani lokal akibat buruknya kondisi petani selama bekerja di ladang para tuan tanah.
Para petani menghimpun masa dan kekuatan untuk melancarkan aksi protes dengan membawa paham perjuangan sosialisme dan komunisme. Para simpatisan dari kiri tersebut kemudian membentuk Partai Sayap Komunis Kolombia (PKK) dan menjalin kontak dengan milisi-milisi petani Kolombia.
Munculnya PKK sering memunculkan gesekan politik dengan partai-partai yang memiliki ideologi berseberangan, khususnya Partai Konservatif.
Pada tahun 1964, pemerintah Kolombia melakukan penyerangan ke markas milisi petani di Kolombia Selatan atas dukungan kubu Partai Konservatif dan juga negara Amerika Serikat. Atas penyerangan ini, para milisi petani dan simpatisan yang berideologi sosialisme-komunisme menyatukan kekuatan dan membentuk kelompok "Bloque Sur” (Blok Selatan) yang kemudian bertransformasi menjadi Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia- Ejercito del Pueblo (FARC-EP, Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia-Tentara Rakyat).
FARC merupakan kelompok bersenjata yang memperjuangkan pendirian pemerintahan komunis dan memperjuangkan nasib para petani Kolombia. FARC pada awalnya merupakan kelompok militer yang hanya beroperasi di kawasan pelosok Kolombia. Namun memasuki tahun 1980-an, FARC mulai memperluas area operasinya ke kawasan kota dan melancarkan serangan terhadap pasukan militer Kolombia. Sebagian anggota FARC juga dikirim ke Vietnam maupun Uni Soviet untuk memperoleh pelatihan militer, sehingga pasukan FARC menjadi semakin tangguh dan berbahaya.
Pada tahun 2002, pemerintah mulai menerapkan kebijakan keras untuk melumpuhkan kelompok FARC dengan segala cara. Anggaran militer ditambah hingga dua kali lipat dan menambah serta memodernisasi persenjataan militer Kolombia. Kebijakan ini mulai diterapkan sejak naiknya Alvaro Uribe menjadi presiden Kolombia.
Adanya pemerintahan baru yang meningkatkan perlawanan terhadap FARC, membuat kekuatan FARC mengalami penurunan dan internsitas baku tembak juga lebih sedikit. Pada tahun 2010, pemerintah Kolombia menyatakan bahwa FARC masih memiliki pasukan sebanyak 5.000 personil dan ratusan sandera dari pihak sipil.
b. Konflik di Peru
Peru merupakan salah satu negara di Amerika Latin yang berbatasan dengan Ekuador dan Kolombia di sebelah utara, serta Brazil di sebelah timur. Wilayah Peru terbagi ke dalam tiga zona utama, yaitu zona pantai di sebelah barat, zona pegunungan di bagian tengah, dan zona hutan di sebelah timur. Zona pantai merupakan zona paling maju dan merupakan pusat aktivitas perekonomian di Peru. Sedangkan zona pegunungan dan hutan merupakan wilayah minim pembangunan dan cenderung terisolasi dari pusat kota Peru.
Pembangunan yang tidak merata, kemiskinan dan lebarnya kesenjangan sosial di Peru, mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok pemberontak yang tidak puas dengan pemerintah dan menginginkan keadilan. Salah satu kelompok pemberontak paling disegani di Peru adalah Partido Comunista de Peru Sendero Luminoso (PCP-SL, Partai Komunis Peru-Jalan Bersinar). Sendero Luminoso merupakan kelompok pemberontak berhaluan komunis Maoisme yang dipimpin oleh Abimael Guzman.
Kelompok Sendero Luminoso mulai menunjukkan aksinya pertama kali pada bulan Mei 1980 di kota Chuschi dengan melakukan sabotase terhadap kotak pemilu dan membakar hasil pemilu.
Sendero Luminoso juga kerap melakukan aksi teror dan penyerangan terhadap para tuan tanah setempat dan kompleks perkantoran milik perusahaan asing yang mereka anggap sebagai simbol kapitalisme.
Aksi-aksi Sendero Luminoso, kemudian menjadikan kelompok ini dikenal secara luas dan banyak para simpatisan yang bergabung ke dalamnya.
Kesuksesan Sendero Luminoso mengembangkan kelompoknya dan memperlebar wilayah kekuasaannya, tidak lepas dari strategi yang diterapkan, diantaranya:
1) Kelihaian dalam menarik simpatisan masyarakat lokal,
2) Langkah memberikan tanah hasil jarahannya dari tuan tanah kepada para petani,
3) Menyediakan layanan-layanan masyarakat kepada penduduk setempat,
4) Melakukan intimidasi dan ancaman bagi penduduk yang menentang
kelompoknya.
Memasuki tahun 1982, kelompok Sendero Luminoso mulai melakukan serangan berskala besar terhadap pos polisi, penjara, maupun kantor-kantor perusahaan asing di dekat ibukota Peru. Pemerintah merespons aksi pemberontakan tersebut dengan menggabungkan kekuatan militer dan polisi untuk menumpas para pemberontak.
Kelompok Sendero Luminoso yang mulai terdesak oleh aksi gabungan militer dan kepolisian Peru akhirnya semakin gencar melakukan kekerasan untuk mengintimidasi penduduk.
Pemerintah Peru mencoba mendekati dan bekerjasama dengan penduduk untuk menyediakan informasi terkait pergerakan Sendero Luminoso. Wilayah-wilayah pelosok mulai mendapatkan perhatian dan dibangun fasilitas-fasilitas umum.
Langkah pemerintah ini direspons positif oleh penduduk dan mereka semakin kooperatif dengan aparat dalam menumpas kelompok pemberontak.
Pada tahun 1990, Peru dipimpin oleh presiden yang baru yaitu Alberto Fujimori. Presiden Fujimori melakukan perubahan radikal untuk mengembalikan stabilitas di Peru, bahkan sejak kepemimpinannya Peru seakan menjadi negara diktator.
Beberapa kebijakannya yaitu sebagai berikut:
1) Mengganti sejumlah besar petinggi militer yang dianggap kurang loyal kepada pemerintah.
2) Menghemat anggaran negara secara ketat untuk membenahi perekonomian.
3) Memberikan legalitas kepada militer untuk mempersenjatai petani melawan pemberontak.
4) Membekukan pihak oposisi dan mengerahkan militer untuk membubarkan kongres dan konstitusi negara.
Kebijakan kontroversial presiden Fujimori tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan semakin baiknya perekonomian di Peru dan keberhasilannya dalam menangkap Abimael Guzman beserta tokoh-tokoh penting pemberontak Sendero Luminoso.
Setelah tertangkapnya Guzman, kekuatan Sendero Luminoso mengalami penurunan tajam dan ribuan anggotanya menyerahkan diri kepada pemerintah di tahun 1994 dengan jaminan mendapatkan pengampunan hukum.
Meskipun pemberontakan Sendero Luminoso berhasil dilumpuhkan pada tahun 1994, namun keberadaan bekas kelompok tersebut yang masih aktif masih terus ada. Aksi bekas anggota Sendero Luminoso masih melakukan penculikan dan serangan berskala kecil pada tahun 2014 yang dipimpin oleh Comrade Artemio.
Namun Artemio berhasil ditangkap pula pada tahun 2012. Penangkapan ini berhasil menghentikan aktivitas pemberontakan Sendero Luminoso hingga saat ini.
c. Konflik Venezuela-Kolombia
Venezuela atau Republik Bolivariana Venezuela merupakan salah satu negara di Amerika Latin yang beribukota di Caracas. Negara ini berbatasan dengan Laut Karibia dan Samudra Atlantik di sebelah utara, Guyana di timur, Brasil di selatan, dan Kolombia di barat. Di lepas pantai Venezuela juga terdapat negara-negara Karibia, yaitu Aruba, Antillen Belkalian dan Trinidad dan Tobago.
Venezuela memiliki luas wilayah kurang lebih 912.050 km2 dan memiliki kekayaan alam maupun sumber daya tambang yang melimpah. Sehingga banyak investor asing yang menanamkan modalnya di Venezuela.
Venezuela sejak dekade 1974, telah menjalin hubungan baik dengan Amerika Serikat dalam hal perekonomian, sehingga Venezuela menganut kebijakan ekonomi liberal-kapitalis. Pada masa ini, muncul jurang perbedaan kelas yang mencolok antara si kaya (kaum borjuis) dan kaum miskin (kaum proletar) di Venezuela, sehingga mempengaruhi stabilitas sosial, politik, dan ekonomi negara tersebut.
Memasuki tahun 1998, Venezuela berubah setelah presiden terpilih baru Venezuela, yaitu Hugo Chaves menggalakkan Revolusi Bolivarian. Di bawah kepemimpinan Chaves, Venezuela diubah menjadi negara sosialis.
Revolusi Bolivarian ini merupakan langkah konkrit Chaves selaku presiden Venezuela untuk mensejahterakan rakyat dan terbebas dari jerat neoliberalisme yang ditanamkan oleh Amerika Serikat. Chaves menganggap bahwa neoliberalisme tidak akan mampu menyejahterakan rakyat miskin, justru sebaliknya akan semakin memperkaya para pemilik modal (kaum borjuis) dengan cara mengeksploitasi rakyat miskin sebagai pekerja.
Langkah awal presiden Chaves dalam menentang liberalisme tersebut, diawali dengan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki saham terbesar di bidang perminyakan.
Selama masa 2001-2002, Hugo Chavez berhasil menasionalisasi Statoil (Norwegia), TOTAL (Prancis), ENI (Italia), dan Exxon Mobil (Amerika Serikat). Selain itu Chavez juga menasionalisasi PDVSA (Petroleos de Venezuela SA) milik Venezuela yang sebelumnya dimiliki oleh seorang konglomerat kaya.
Pemerintah Venezuela juga menetapkan kebijakan luar negeri yang memiliki visi untuk mengintegrasikan kawasan Amerika Latin dan Karibia ke dalam sebuah blok regional berbasis sosialisme. Kebijakan tersebut diwujudkan dengan memberikan dukungan tertutup kepada Fuerzas Armadas Revolucionaries de Colombia (FARC) di Kolombia. FARC merupakan pasukan pemberontak di Kolombia yang berhaluan komunis. Namun di mata Chaves, FARC bukanlah pemberontak, melainkan pihak yang berperang.
Dukungan Venezuela kepada FARC tersebut, mendapatkan kecaman dari
Kolombia dan membuat hubungan regional kedua negara menjadi memanas.
Kolombia yang merupakan sekutu Amerika Serikat, meminta bantuan keamanan untuk menjaga stabilitas negeri dari aksi pemberontakan FARC. Amerika Serikat kemudian mengirimkan pasukan dan membentuk pangkalan militer di Kolombia dengan dalih menjaga keamanan dari pasukan pemberontak FARC.
Berdirinya pangkalan militer Amerika Serikat di Kolombia menambah ketegangan antara Venezuela dengan Kolombia. Hingga memasuki tahun 2000-an, konflik kedua negara tersebut semakin memanas. Dari pihak Venezuela, menganggap bahwa berdirinya pangkalan militer Amerika Serikat di Kolombia merupakan tindakan provokatif Kolombia untuk mengganggu stabilitas negara Venezuela. Memasuki tahun 2015, Venezuela telah mendeportasi ribuan warga Kolombia yang tinggal di negaranya. Kedua negara saling menempatkan pasukan masing-masing di perbatasan negara.
C. Rangkuman
1. Konflik Bosnia teradi karena dipicu adanya keinginan dari Slobodo Milosevic untuk mendirikan ‘Serbia Raya’ , yaitu sebuah negara yang penduduknya hanya dari etnis Erbia. Orang-orang Serbia kemudian melakukan serangan dan pembantaian terhadap orang-orang dari etnis Bosnia dan Kroasia. Konflik ini dapat diredam oleh pasukan keamanan PBB yang melakukan operasi gabungan militer melumpuhkan pasukan Serbia
2. Kehidupan ekonomi yang ambruk, korupsi, dan pemerintahan rezim Mobutu yang kejam dan buruk telah menimbulkan kekecewaan dan pemberontakan rakyat. Perang terjadi antara pihak rakyat dan pihak pemerintah, yang dalam hal ini pasukan Mobutu. Sementara konflik yang terjadi di Sudah disebabkan karena rasa ketidak adilan dari masyarakat Sudan Selatan kepada pemerintah pusat.
Konflik Somalia lebih dipicu karena persoalan keragaman etnis yang tidak diimbangi dengan persatuan dan keharmonisan rakyatnya. Konflik di Afrika Tengah terjadi karena merebaknya isu KKN serta adanya ekspolitasi tambang Berlian oleh presiden mereka sendiri yaitu Bozize. Konflik-konflik ini juga melibatkan masyarakat sipil yang tidak berdosa seperti anak-anak, ibu-ibu, orang-orang tua, dan masyarakat lainnya yang bahkan tidak mengerti sama sekali mengapa terjadinya perang. Penembakan, pengeboman, penyeranga, pembantaian di mana-mana telah menimbulkan kengerian dan trauma yang mendalam pada masyarakat. Hal ini diperparah lagi oleh kondisi ekonomi yang tidak stabil dan bertambah buruk. Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana.
3. Konflik Columbia diawali oleh adanya demosntrasi para petani local akibat buruknya kondisi pertanian dan pekerja di ladang-ladang tuan tanah. Mereka kemudia mengusung faham sosialis-komunis. Pemerintahan Columbia melakukan penyerangan ke markas milier petani si Columbia Selatan. Kaum petani yang tergabung di dalam FARC kemudia berjuang mendirikan pemerintahan komunis di Columbia. Ketegangan ini terus berlangsung. Konflik di Peru dipicu oleh adanya pembangunan yang tidak merata, kemiskinan, dan lebarnya kesenjangan sosial di kalangan masyarakat. Rakyat yang merasa tidak puas terhadap pemerintah,melakukan pemberontakan menuntut keadilan. Pihak pemberontak ini juga mengusung faham kumunis dna melakukan terror dan penyerangan terhadap para tuan tanah. Perbedaan kelas yang mencolok akibat kapitalisme dan liberalism di Venezuela memicu lahirnya Revolusi Bolivarian oleh Presiden Hugo Chaves. Presiden Hugo ingin mendasarkan negara pada faham sosialis. Dukunga Venezuela terhadap FARC menimbulkan protes Columbia. Campur tangan Amerika Serikat terhadap di antara kedua negara ini telah menimbulkan suhu panas konflik semakin tinggi.
D. Tugas Mandiri
Isilah tabel berikut sesuai dengan pernyataan!
E. Latihan Soal
Pilihlah salah satu jawaban yang paling tepat pertanyaan-pertanyaan di bawah ini !
1. Berikut adalah keputusan PBB dalam mengatasi konflik antara India dan Pakistan, kecuali ...
A. Mengembalikan pengungsi.
B. Menyerahkan urusan Kashmir pada SAARC.
C. Membebaskan tahanan politik yang disandera dikamp.
D. India-Pakistan harus menarik pasukannya dari Kasmir.
E. Secepatnya melaksanakan referendum atas status Kashmir.
2. Perhatikan beberapa hal berikut!
1) Perebutan wilayah Yeonpyeong.
2) Adanya kebijakan “Sunshine Policy” Kim Dae Jung.
3) Uji coba nuklir Korea Utara ke Korea Selatan.
4) Perbedaan ideologi.
Yang merupakan sebab konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan ditunjukkan oleh nomor...
A. 1 dan 3.
B. 2 dan 4.
C. 1 dan 2.
D. 2 dan 3.
E. 3 dan 4.
3. PBB semakin intensif terlibat dalam konflik Bosnia karena...
A. Pelanggaran HAM y ang dilakukan Bosnia.
B. Penyerangan pasukan etnis Serbia di zona aman PBB.
C. Penyerangan tentara Bosnia terhadap NATO di Sarajevo.
D. Adanya penolakan kemerdekaan terhadap Bosnia-Herzegovina.
E. Penolakan pemerintahan Bosnia terhadap intervensi UNPROFOR.
4. Berikut adalah faktor yang menyebabkan negara-negara di Afrika Selatan masih berpotensi memunculkan konflik, kecuali ...
A. Rasa kesukuan yang tinggi.
B. Tingginya angka kemiskinan.
C. Lemahnya legitimasi politik penguasa.
D. Rendahnya potensi sumber daya alam di tanah Afrika.
E. Kebijakan pemerintahan yang tidak berpihak pada rakyat.
5. Langkah awal Presiden Chaves dalam menentang liberalisme adalah ...
a. Mendirikan pangkalan militer.
b. Memutuskan hubungan diplomatik dengan Kolombia.
c. Mengintegrasikan kawasan Amerika Latin dan Karibia ke dalam sebuah blok regional berbasis sosialisme.
d. Memberikan dukungan tertutup kepada Fuerzas Armadas Revolucionaries de Colombia (FARC) di Kolombia.
e. Melakukan proses nasionalisasi terhadap perusahaan swasta yang memiliki saham terbesar di bidang perminyakan.