Pertanyaan kunci yang akan dikaji pada unit ini adalah:
1. Jika diklasifikan, bagaimana peta pemikiran beserta argumentasi pendiri bangsa tentang dasar negara? Apa persamaan dan perbedaan pemikirannya?
2. Bagaimana peta pemikiran beserta argumentasi pendiri bangsa tentang hubungan agama dan negara?
Pada unit ini kalian akan belajar menganalisis perdebatan para pendiri bangsa tentang rumusan dan isi Pancasila, termasuk di dalamnya memetakan pemikiran pendiri bangsa tentang hubungan agama dan negara.
2. Aktivitas Belajar 1
Sebelum kalian mempelajari topik ini lebih lanjut, pertama-tama kalian perlu menjawab beberapa pertanyaan penting tentang topik yang sudah dipelajari di Kelas X.
a. Pokok-pokok pemikiran apa saja yang disampaikan oleh Moh. Yamin dalam sidang BPUPK?
b. Pokok-pokok pemikiran apa saja yang disampaikan oleh Soepomo dalam sidang BPUPK?
c. Pokok-pokok pemikiran apa saja yang disampaikan oleh Soekarno dalam sidang BPUPK?
Setelah menyelesaikan aktivitas diskusi, mari kita baca artikel berikut secara seksama. Untuk memandu kegiatan membaca ini, kalian akan menemukan sejumlah kata kunci penting yang perlu kalian tuliskan maknanya berdasarkan pemahaman kalian terhadap bahan bacaan.
1. Ketuhanan
2. Internasionalisme
3. Musyawarah
4. Integralistik
5. Gotong royong
6. Kekeluargaan
7. Philosophische grondslag atau weltanschauung
8. Kemanusiaan
Peta Pemikiran Pendiri Bangsa tentang Pancasila
Sebagaimana disebutkan dalam buku PPKn Kelas X, ada banyak anggota BPUPK yang turut menyampaikan pidato pada sidang pertama yang membahas tentang dasar negara Indonesia merdeka. Tak hanya Moh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno yang menyampaikan pidato waktu itu, melainkan juga ada Hatta, H. Agus Salim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan lain-lain. Diskusi dan saling menanggapi, bahkan saling sanggah, terjadi selama persidangan.
Hal tersebut tentu sebuah kewajaran, bahkan keharusan. Disebut kewajaran karena setiap orang niscaya memiliki pemikiran yang berbeda-beda akibat pengaruh perbedaan latar belakang, sudut pandang, cita-cita, dan lain sebagainya. Bahkan, disebut keharusan karena yang menjadi subjek pembicaraan adalah negara besar, tidak hanya dari aspek geografis dan jumlah populasi, melainkan juga kaya akan sumber daya alam dan tradisi.
Pada titik ini, diskusi, saling menanggapi, bahkan saling sanggah dalam persidangan adalah wujud demokrasi. Namun demikian, para anggota BPUPK—serta para pendiri bangsa lainnya yang tidak tergabung dalam BPUPK—memiliki cita-cita yang sama, yakni kemerdekaan, persatuan, dan kejayaan Indonesia.
Sebagaimana dalam uraian buku Kelas X, tampak jelas bahwa Soekarno memiliki peran besar dalam merumuskan dasar negara. Ia bukan saja memperkenalkan nama Pancasila terhadap lima konsep yang disampaikan dalam sidang BPUPK. Lebih dari itu, kelima konsep yang disampaikan menjadi rujukan penting dalam pembahasan-pembahasan berikutnya, terutama dalam Panitia Sembilan.
Namun demikian, kontribusi pemikiran sejumlah tokoh lainnya tidaklah sedikit. Usulan Soepomo, misalnya, terkait bentuk negara integralistik serta struktur sosial bangsa Indonesia juga menjadi kerangka penting dalam merumuskan negara merdeka. Begitu juga dengan anggota BPUPK lainnya.
Tak hanya pada sidang pertama BPUPK, perbincangan tentang dasar negara terus dimatangkan, baik dalam Panitia Kecil maupun pada saat sidang kedua BPUPK. Hasil dari Panitia Kecil yang dibentuk setelah sidang pertama BPUPK, dicapainya kesepakatan 2, antara, yang oleh Soekarno disebut sebagai, “kelompok Islam” dan “kelompok kebangsaan”, sebagaimana yang tertulis dalam Preambule, atau Mukaddimah.
Hasil kesepakatn ini dibacakan oleh Soekarno sebagai ketua Panitia Kecil dihadapan sidang BPUPK yang kedua. Pada sidang kedua ini, anggota BPUPK banyak mendiskusikan soal bentuk negara, ketimbang soal dasar negara.
Perbincangan tentang dasar negara kembali mengemuka pada saat sidang PPKI yang berlangsung sehari setelah kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945. Fokus pembicaraan pada saat itu adalah soal “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Pada bagian ini, kalian akan mempelajari peta pemikiran para pendiri bangsa tentang dasar negara, tidak hanya yang muncul pada saat era BPUPK ataupun PPKI, tetapi juga setelahnya, termasuk soal bagaimana para pendiri bangsa memaknai Pancasila.
a. Soekarno
Dalam buku Kelas X telah diuraikan cuplikan pidato Soekarno dalam sidang pertama BPUPK. Soekarno mengusulkan lima dasar bagi Indonesia merdeka. Dia pula yang mengusulkan penamaan Pancasila terhadap kelima dasar yang diusulkan tersebut.
Berikut 5 dasar usulan Soekarno, beserta penjelasannya:
1) Kebangsaan Indonesia
Soekarno menjelaskan bahwa kebangsaan di sini bukan dalam arti sempit, tetapi dalam arti luas yakni, nationale staat. Soekarno kemudian memberikan definisi “bangsa” dengan mengutip pendapat Ernest Renan, yaitu “kehendak akan bersatu, Orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu”. Soekarno juga mengutip pendapat Otto Bauer yang mendefinisikan bangsa “adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib”. Namun, kedua definisi ini dirasa oleh Soekarno tidak cukup untuk menggambarkan kebangsaan Indonesia. Pasalnya, Soekarno memberikan contoh bangsa Minangkabau. Sesama bangsa Minangkabau merasa satu kesatuan, merasa satu keluarga. Namun, hal tersebut hanyalah satu bagian kecil dari satu kesatuan.
Pendek kata, Soekarno menjelaskan bahwa bangsa Indonesia bukanlah sekadar satu golongan orang yang memiliki keinginan untuk bersama dan bersatu dengan golongannya, tetapi harus menjadi satu kesatuan seluruh manusia Indonesia yang berbangsa-bangsa dan tinggal di pulau-pulau Indonesia. Soekarno mengatakan:
Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indo nesia jang bulat! Bukan kebangsaan Djawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lainlain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.
Namun, kata Soekarno, kebangsaan Indonesia jangan terjebak pada chauvinisme, paham yang menempatkan bangsanya paling tinggi di antara bangsabangsa dunia, sekaligus memandang bangsa-bangsa lain lebih rendah. Soekarno mengatakan:
Jangan kita berdiri diatas azas demikian, tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Dengan demikian, dasar yang pertama ini tidak lah cukup, melainkan membutuhkan dasar kedua, yakni Internasionalisme atau perikemanusiaan.
2) Internasionalisme atau perikemanusiaan
Internasionalisme di sini, kata Soekarno, tidak bermakna kosmopolitanisme, sebuah paham yang menganggap bahwa seluruh manusia adalah satu komunitas tunggal ang memiliki moralitas yang sama. Jika seperti ini, kata Soekarno, maka “tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya”.
Karena itulah, internasionalisme harus berakar pada nasionalisme. Soekarno mengatakan, “Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme”. Dengan demikian, dasar pertama, kebangsaan Indonesia, harus bergandengan tangan dengan dasar kedua, internasionalisme.
Soekarno mengutip pendapat Mahatma Gandhi, “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan."
3) Mufakat atau demokrasi
Soekarno mengatakan, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara, 'semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.' Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permu syawaratan, perwakilan.” Dasar yang ketiga inilah, menurut Soekarno, menjadi tempat terbaik untuk memelihara agama Islam. Sehingga, jika ada yang belum memuaskan, permusyawaratan inilah yang harus dilakukan. Soekarno memberikan tanggapan terhadap perdebatan alot di antara anggota BPUK tentang apakah Indonesia akan berdasarkan Islam atau tidak.
Soekarno mengatakan:
Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk menge mukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi per baikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi Badan Perwakilan Rakjat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam.
4) Kesejahteraan Sosial
Prinsip keempat yang diusulkan Soekarno adalah kesejahteraan sosial. Menurut Soekarno, prinsip keempat ini belum ada yang membicarakan selama sidang pertama BPUPK. Kesejahteraan sosial di sini, menurut Soekarno, “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka”. Prinsip ini dikaitkan oleh Soekarno dengan prinsip ketiga. Karena itulah, Soekarno berpesan:
Kalau kita mentjari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi
permusjawaratan yang memberi hidup, yakni politik-ekonomi-demokrasi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Soekarno mengingatkan, “Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum Kapitalis merajalela? Padahal ada Badan Perwakilan Rakyat!" Karena itulah, demokrasi yang dianut tidak hanya berkaitan dengan politik, tetapi juga berkaitan dengan kesejahteraan sosial, dan ekonomi.
5) Ketuhanan
Prinsip kelima yang diusulkan Soekarno adalah Ketuhanan. “Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya berTuhan,” ujar Soekarno. “Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan,” kata Soekarno. Apa maksud ber-Tuhan secara kebudayaan atau keadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. Soekarno pun menyinggung bagaimana Nabi Muhammad dan Nabi Isa memberikan bukti yang cukup tentang hormat menghormati. Karena itulah, ketuhanan yang berkebudyaan di sini dimaknai oleh Soekarno sebagai ketuhanan yang berbudi pekerti, yang luhur, ketuhanan yang menghormati sama lain. Dengan prinsip kelima inilah, semua agama dan kepercayaan mendapatkan tempat yang baik.
Kelima dasar tersebut oleh Soekarno, diberi nama Pancasila. Namun, jika sekiranya kelima dasar tersebut dirasa kurang cocok, Soekarno kemudian memeraskan menjadi tiga, (trisila): Sosio-Nasiolisme, Sosio-Demokratik, dan Ketuhanan. Jika pun ketiga dasar ini dirasa kurang cocok, Soekarno mengusulkan satu dasar (ekasila), yang diperas dari ketiga dasar tersebut, yaitu Gotong Royong.
b. Moh. Yamin
Mohammad Yamin menyuguhkan lima usulan tentang dasar negara Indonesia merdeka.
Bagaimana penjelasan Moh. Yamin terhadap masingmasing usulan tersebut? Berikut penjelasannya.
1) Peri Kebangsaan
Menurut Yamin, ada tiga hal yang harus dilakukan terkait dengan kebangsaan Indonesia yang berkeinginan untuk merdeka,
yaitu
(1) mengenai pekerjaan anggota untuk me ngum pulkan segala bahan-bahan untuk pembentukan negara,
(2) mengenai UndangUndang Dasar Negara,
(3) usaha yang harus dilakukan untuk menjadikan Indonesia merdeka sesuai dengan keinginan rakyat.
Peri kebangsaan ini berkaitan dengan paham nasionalisme. Nasionalisme dalam negara Indonesia merdeka berbeda dengan usaha rakyat sewaktu mendirikan negara Syailendera Sriwijaya (600-1400),juga berbeda dengan kerajaan Majapahit (1293-1525).
Bagi Yamin, paham atau falsafah tentang kedatuan atau keprabuan sebagaimana pada masa Sriwijaya dan Majapahit tidak dapat diberlakukan dalam negara Indonesia.
Sebuah negara, menurut Yamin, berkaitan dengan tanah air, bangsa, kebuda yaan, dan kemakmuran. Ia ibarat setangkai bunga yang berhubungan dengan dahan, daun, dan cabang. Karena itu, Yamin menyarankan agar tatanan negara Indonesia berbeda dengan negara luar, karena aturan-aturan dasar negara Indonesia perlu merujuk kepada tradisi, adat, agama, dan otak Indonesia, bukan meru juk kepada negara lain.
2) Peri Kemanusiaan
Ketika mengemukakan poin ini, Yamin tidak langsung menjelaskan makna dari peri kemanusiaan. Yamin mengatakan bahwa pergerakan Indonesia merdeka tidak saja berkaitan dengan perlawanan terhadap penjajah, melainkan juga upaya untuk menyusun masyarakat baru dalam suatu negara. Tujuan Indonesia merdeka sudah sama artinya dengan dasar kemanusiaan yang berupa dasar kedaulatan rakyat atau kedaulatan negara.
Kedaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia merdeka berdasarkan peri kemanusiaan yang universal, berisikan tentang humanisme dan internasionalisme bagi segala bangsa. Dasar peri kemanusiaan adalah dasar hukum internasional dan peraturan kesusilaan sebagai bangsa dan negara yang merdeka.
3) Peri Ketuhanan
Poin ketiga yang disampaikan oleh Yamin adalah ketuhanan. Yamin tidak memberikan penjelasan panjang lebar terkait dengan hal ini. Yamin hanya mengatakan bahwa bangsa Indonesia merdeka adalah bangsa yang berkeadaban luhur, dan peradabannya memiliki Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan akan melin dungi negara Indonesia merdeka itu.
4) Peri Kerakyatan,
Yamin memberikan ilustrasi cukup panjang tentang poin ini. Peri kerakyatan ini memiliki anak poin lagi, yaitu permusyawaratan, perwakilan, dan kebijakan.
Terhadap anak poin tersebut, Yamin banyak merujuk kepada kitab suci umat Islam, al-Qur’an.
Ketika membahas tentang permusyawaratan, Yamin mengutip ayat al-Qur’an surat As-Syuara ayat 38, juga merujuk kepada sejarah Nabi Muhammad dan para sahabat, yang kesemuanya dijadikan dasar perlunya permusyawaratan. Yamin juga mengambil dasar permusyawaratan dari sifat-sifat peradaban asli Indonesia (prasejarah), di mana nenek moyang kita sudah terbiasa melakukan musyawarah.
Anak poin kedua adalah perwakilan. Menurut Yamin, sifat utama dari susunan masyarakat ialah adanya sistem perwakilan. Mohammad Yamin melihat bahwa despotisme dan feodalisme merupakan penyakit yang menghinggapi peradaban Indonesia yang harus disingkirkan. Bagi Yamin, untuk mewujudkan negara Indonesia yang sesuai dengan kehendak rakyatnya, maka perwakilan perlu dilakukan.
Anak poin ketiga adalah jalan kebijaksanaan, yang oleh Yamin diterjemahkan menjadi rasionalisme. Hikmah dari kebijaksanaan yang menjadikan pemimpin rakyat Indonesia ialah rasionalisme yang sehat, karena telah melepaskan diri dari anarki, liberalisme, dan semangat penjajahan.
5) Kesejahteraan Rakyat
Tidak banyak yang dijelaskan Yamin mengenai kesejahteraan rakyat ini. Ia hanya mengatakan bahwa perubahan besar yang terjadi dalam diri bangsa Indonesia berhubungan langsung dengan dilantiknya negara baru. Selain itu, mengenai kehidupan ekonomi sosial bangsa Indonesia, Mohammad Yamin membicarakan persoalan tentang kesejahteraan rakyat atau keadilan sosial yang dikaitkan dengan daerah negara. Secara puitis, Yamin mengatakan bahwa Garuda Negara Indonesia yang hendak terbang membumbung tinggi melalui daerah yang terhampar dari Gentingan kra di Semenanjung Melayu dan Pulau Weh di puncak utara Sumatera sampai ke kandang Sampan Mangio di kaki Gunung Kinabu dan Pulau Palma Sangihe di sebelah utara Sulawesi.
c. Soepomo
Sebagai pakar hukum, Soepomo mula-mula berbicara tentang syarat-syarat berdirinya suatu negara berdasarkan konstitusi. Menurutnya, syarat pertama adalah daerah. Terhadap hal ini, Soepomo sepakat bahwa daerah Indonesia meliputi batas HindiaBelanda. Kedua, rakyat sebagai warga negara. Artinya, siapapun yang memiliki kebangsaan Indonesia, maka dengan sendirinya bangsa Indonesia asli. Bangsa peranakan, Tionghoa, India, Arab yang telah turun temurun tinggal di Indonesia, dan mempunyai kehendak yang sungguh-sungguh untuk bersatu dengan bangsa Indonesia yang asli, maka ia harus diterima sebagai warga negara Indonesia. Ketiga, pemerintahan yang berdaulat menurut hukum internasional.
Kemudian, Soepomo berbicara tentang dasar negara Indonesia dengan mengutip sejumlah teori, seperti teori perseorangan yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes dan John Locke, teori golongan (class theory) dari Karl Marx, Engels, dan Lenin, serta teori integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, dan Hegel.
Setiap negara, menurut Soepomo, harus sesuai dan menggambarkan struktur sosial, karakteristik masyarakat. Negara Indonesia merdeka tidak seharusnya dibangun dengan menjiplak masyarakat di luar Nusantara. Corak dan bentuk negara itu harus disesuaikan dengan perikehidupan masyarakat yang nyata. Menurut Soepomo, struktur sosial
bangsa Indonesia itu ditopang oleh semangat persatuan hidup, semangat kekeluargaan, keseimbangan lahir batin masyarakat, yang senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya demi menyelenggarakan keinsyafan keadilan rakyat.
Pokok pemikiran Soepomo tersebut oleh Nugroho Notosutanto ditafsirkan bahwa Soepomo mengajukan lima dasar bagi negara merdeka.
1) Persatuan,
Persatuan yang dimaksudkan oleh Soepomo adalah persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti, persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikro kosmos dan makrokosmos, antara pemimpin dan rakyatnya. Soepomo sangat menekankan adanya persatuan pemimpin dengan rakyatnya. Karena itulah, pejabat negara, menurut Soepomo, ialah pemimpin yang bersatu-jiwa dengan rakyat, dan para pejabat negara itu senantiasa memegang teguh persatuan dan kese imbangan dalam masyarakatnya.
2) Kekeluargaan,
Karakteristik sosial bangsa Indonesia adalah kekeluargaan, sehingga hal ini perlu menjadi dasar bagi Indonesia merdeka. Soepomo mengkritik apa yang disebutnya “kebudayaan Barat”. Menurut Soepomo, orang Barat berpegang pada prinsip perseorangan (individualisme). Individualisme ini yang menyebabkan bangsabangsa Eropa pada keangkaramurkaan, ia dapat bersaing dengan sangat keras dan saling menjatuhkan. Sementara, orang Timur tidak mengenal individualisme.
Dalam budaya Timur, sebagaimana Indonesia, semua orang dianggap sebagai anggota keluarga. Semua pekerjaan dijalankan secara bersama-sama. Oleh karena itu, negara Indonesia merdeka harus diselenggarakan atas dasar kekeluargaan dan gotong-royong.
3) Keseimbangan lahir dan batin,
Setiap manusia, menurut Soepomo, dalam pergaulan sosial memiliki kewajiban hidup (dharma) sendiri menurut kodrat alamnya, yang kesemuanya itu ditujukan untuk mencapai keseimbangan lahir dan batin. Batin di sini berkaitan dengan agama, keyakinan, atau kepercayaan yang dimiliki masyarakat Indonesia, yang dapat menjadikan petunjuk jalan dalam kehidupannya. Sementara lahir berarti hal-hal tampak, ragawi, dan fisikal. Keduanya tidak dapat dipisahkan.
4) Musyawarah,
Menurut Soepomo, masyarakat Indonesia sudah terbiasa melakukan musyawarah sejak dahulu kala. Karena itu, pemimpin negara Indonesia, menurut Soepomo, hendaknya bermusyawarah dengan rakyatnya, atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desa, agar terwujud pertalian antara pemimpin dan rakyat.
5) Keadilan rakyat.
Setiap pemimpin, mulai dari kepala desa, menurut Soepomo, harus bertindak sesuai dengan prinsip keadilan dan cita-cita rakyatnya. Soepomo hanya sedikit menyinggung kelima dasar di atas, selebihnya Soepomo berbicara tentang bentuk negara Indonesia merdeka. Dalam imajinasi Soepomo, negara merdeka itu haruslah suatu “negara totaliter”, seperti Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler atau Jepang di bawah kaisar Tennoo Heika. Maksud dari “negara totaliter”, yang oleh Soepomo disebut dengan “bentuk integralistik”, ialah suatu negara yang
meniadakan perbedaan antargolongan masyarakat, meleburkan seluruh golongan ke dalam satu zat, yaitu rakyat yang bersatu jiwa dengan pemimpinnya
Pemimpin Indonesia yang dibayangkan oleh Soepomo seperti “Ratu Adil”, sesosok raja dalam mitos orang Jawa yang akan menyelamatkan seluruh rakyat dari marabahaya.
Karena itulah, Soepomo menganjurkan bahwa “dalam Negara Indonesia itu hendaknya dianjurkan supaya para warga negara cinta kepada tanah air, ikhlas akan diri sendiri, dan suka berbakti kepada tanah air; supaya mencintai dan berbakti kepada pemimpin dan kepada negara; supaya takluk kepada Tuhan, supaya tiap-tiap waktu ingat kepada Tuhan”.
d. Moh. Hatta
Menurut Moh. Hatta, Pancasila sebenarnya tersusun atas dua dasar. Pertama, berkaitan dengan moral, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, berkaitan dengan aspek politik, yaitu kemanusiaan,persatuan Indonesia, demokrasi kerakyatan, dan keadilan sosial.
Ketuhanan, menurut Hatta, menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat.
Kemanusiaan menegaskan pentingnya perbuatan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintah, sehingga ia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Persatuan Indonesia menegaskan sifat negara Indonesia sebagai negara nasional yang satu, tidak terbagi-bagi ke dalam ideologi, golongan, dan kelompok tertentu.
Dasar kerakyatan menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemauan, kehendak, dan aspirasi rakyat.
Dasar keadilan sosial merupakan pedoman dan tujuan bagi adanya Indonesia.
Hatta menolak gagasan negara integralistik atau negara totaliter, sebagaimana yang diusulkan oleh Soepomo. Menurut Hatta, negara integralistik memberikan peluang dan legitimasi terhadap adanya kekuasaan mutlak negara, karena negara dan rakyat menjadi satu, tidak terpisahkan. Hatta lebih setuju dengan negara kesatuan yang bersendi demokrasi dan dibatasi oleh konstitusi. Dengan bersendi demokrasi, maka dalam negara kesatuan, kekuatan terbesar ada pada rakyat. Di sini, rakyat mendapatkan haknya untuk menyuarakan pendapatnya melalui lembaga-lembaga demokrasi.
Hatta menolak demokrasi yang bertumpu pada kepentingan feodal, ataupun kepentingan satu golongan yang menindas golongan lain. Demokrasi politik saja, tidak melaksanakan persamaan dan persaudaraan, sehingga ia juga harus ditopang dengan demokrasi ekonomi.
Cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial yang meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia. Cita-cita keadilan sosial harus dijadikan program untuk dilaksanakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sumber demokrasi sosial Indonesia adalah paham sosialisme Barat, sebagai dasar perikemanusiaan; ajaran Islam sebagai dasar menuntut kebenaran dan keadilan ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai mahkuk Tuhan; masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme menjadi dasar tolong menolong dan gotong royong.
3. Refleksi
Setelah melalui proses belajar hari ini, saatnya kalian melakukan refleksi terhadap diri sendiri dengan mengisi Tabel Refleksi 3-2-1 di bawah ini:
5. Refleksi
Setelah melalui proses belajar hari ini, saatnya kalian melakukan refleksi terhadap diri sendiri dengan menjawab pertanyaan yang dapat membantu kalian untuk berefleksi:
a. Dari proses belajar hari ini, hal yang saya pahami adalah ....
b. Dari proses belajar hari ini, hal yang belum saya pahami adalah/saya ingin mengetahui lebih dalam tentang ...
c. Dari proses belajar hari ini, hal yang akan saya lakukan dalam kehidupan seharihari adalah ....
6. Rangkuman
a. Para pendiri bangsa, baik yang tergabung maupun yang tidak tergabung dalam BPUPK, memliki kesamaan cita-cita terhadap bangsa Indonesia, yaitu kemerdekaan, persatuan, dan kejayaan.
b. Nama Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Soekarno, yang digunakan sebagai dasar negara.
c. Di awal kemerdekaan Indonesia, sidang PPKI berfokus pada ketuhanan dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
d. Dalam sidang BPUPK pertama, Soekarno awalnya mengusulkan 3 rancangan dasar negara, yaitu Pancasila yang terdiri dari 5 dasar negara (kebangsaan Indonesia, internasionalisme dan perikemanusiaan, mufakat dan demokrasi, kese jahteraan sosial dan ketuhanan); Trisila (sosio-nasiolisme, sosio-demokratik, dan ketuhanan) dan yang terakhir adalah Ekasila (gotong royong).
e. Selain Soekarno, pendiri bangsa lainnya, seperti Soepomo, Moh. Yamin, dan Moh. Hatta, juga turut memberikan ide tentang dasar negara. Masing-masing dari mereka membuat 5 poin dasar negara, sama halnya seperti yang diajukan oleh Soekarno pertama kali.
7. Aktivitas Belajar 3
Dinamika Perumusan Pancasila
Perdebatan mengenai hubungan antara agama dan negara turut mewarnai sidang BPUPK kala itu. Para pejuang dan pendiri bangsa Indonesia berbeda pendapat soal ini. Sebagian menghendaki Islam menjadi dasar negara, sebagian lainnya berpandangan bahwa negara Indonesia tidak perlu menjadikan agama sebagai dasar negara.Soekarno
dan Hatta, misalnya, adalah tokoh yang berpandangan bahwa negara Indonesia tidak dapat didasarkan kepada Islam. Sementara itu, Moh. Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH. Wahid Hasyim memandang bahwa Islam harus menjadi dasar negara.
Untuk mengatasi perbedaan pendapat tersebut, sebagai bagian dari demokrasi serta untuk menghindari perpecahan, maka dicarikan titik temu dalam Panitia Sembilan yang dibentuk setelah sidang pertama BPUPK. Setelah melewati diskusi panjang, akhirnya Panitia Sembilan menyepakati preambule yang disampaikan oleh Soekarno, selaku ketua Panitia Sembilan, dalam sidang BPUPK kedua pada 10 Juli 1945.
Preambule ini merupakan persetujuan bersama antarkalangan yang semula berbeda pendapat. Ini adalah potret sebuah proses demokrasi yang indah. Perdebatan dan perbedaan pendapat bukanlah sesuatu permusuhan, melainkan bagian dari ihktiar bersama untuk mencari rumusan dasar negara Indonesia yang tepat.
Berikut bunyi preambule yang dibacakan oleh Soekarno:
"Pembukaan: bahwa sesungguhnja kemerdékaan itu jalah hak segala bangsa, dan oléh sebab itu maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perdjuangan pergerakan kemerdékaan Indonésia telah sampai kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakjat Indonésia kedepan pintu gerbang Negara Indonésia jang merdéka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bébas, maka rakjat Indonésia menjatakan dengan ini kemerdékaannja. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdéka jang melindungi segenap bangsa Indonésia dan seluruh tumpah-darah Indonésia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdékaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdékaan kebangsaan Indonésia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonésia jang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonésia, jang berkedaulatan rakjat, dengan berdsarkan kepada: ke-Tuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknja, menurut dasar kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia".
Namun, tak cukup sampai di situ. Preambule tersebut, rupanya masih menjadi polemik di kalangan pendiri bangsa. Mohammad Hatta, misalnya, tetap berpandangan bahwa Islam tidak perlu menjadi dasar negara secara formal. Islam tetap menjadi semangat dan dasar moral.
Akhirnya, dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, tujuh kata dalam preambule, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” dihapuskan. Alasannya, terdapat keberatan dari satu kelompok anak bangsa terkait dengan tujuh kata dalam Preambule tersebut. Demi menjaga keutuhan bangsa, akhirnya, Moh.Hatta mendiskusikan tentang rencana penghapusan tersebut kepada tokoh Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.A. Wachid Hasyim.
Saat mengetahui keberatan dan potensi perpecahan, Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.A. Wachid Hasyim--sebagai representasi dari 2 organisasi Islam terbesar: Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama--pun setuju dengan penghapusan tujuh kata tersebut. Ki Bagus Hadikusumo, misalnya, mengatakan:
Di dalam keterangan Tuan Syusa tadi hanya satu perkara yang kecil sekali yang akan saya minta dicabut atau dihilangkan. Saya menguatkan voorstel Kiyai Sanusi dalam pembukaan di sini yang mengatakan bahwa perkataan dengan kewajiban umat Allah swt ”bagi pemeluk-pemeluknya" adalah menurut keterangan Kiyai Sanusi tidak ada haknya dalam kata-kata Arab dan menambah janggalnya kata-kata. Jadi tidak ada artinya dan menambah kejanggalan, menambah perkataan yang kurang baik, menunjukkan pemecahan kita. Saya harap supaya ”bagi pemeluk- pemeluknya” itu dihilangkan saja. Saya masih ragu-ragu di Indonesia banyak perpecahan-perpecahan, dan pada prakteknya maksudnya sama saja.
Kesaksian KH. Masjkur (anggota BPUPK yang juga Panglima Laskar Sabilillah) menceritakan pertemuan lima tokoh di akhir bulan Mei 1945, yang membahas tentang dasar negara yang akan diresmikan oleh BPUPK. Tim Arsip Nasional Republik Indonesia, dalam hal ini dilakukan oleh M. Dien Madjid, sempat melakukan wawancara kepada Kiai Masjkur. Berikut adalah transkripsi sejarah lisan yang disampaikan Kiai Masjkur tersebut:
“... di rumah Mohamad Yamin, saya, Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dari Yogyakarta. Bertiga, berempat dengan Yamin. Bung Karno datang. Kita berhenti omong-omong itu.
– Lantas Bung Karno tanya: ‘Ada apa?’
– ‘Kita ini ingin dasar Islam tetapi kalau dasar Islam, negara ini pecah. Bagaimana kira-kira bisa umat Islam bela tanah air, tapi tidak pecah.?’
– Bung Karno katakan: ‘Coba kita tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa, tanah Indonesia ini?’
– Yamin mengatakan: ‘Zaman dulu, orang Jawa punya kebiasaan. Apa kebiasa annya? Pergi di pinggir sungai, di pohon besar, semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan. Minta keselamatan, minta apa begitu.’
– Lantas Bung Karno katakan: ‘Nah! Ini mencari Tuhan namanya. Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan, cuma tidak tahu dimana Tuhan dan siapa Tuhan itu. Pergi di pohon besar, pergi di kayu besar, pergi di batu-batu nyekar, itu mencari Tuhan,’ Kata Bung Karno, ‘Kalau begitu, negara kita dari dulu itu sudah Ketuhanan! Sudah Ketuhanan zaman Jawa itu, zaman Jawa itu zaman Ketuhanan. Ketuhanan! Bagaimana Islam? Ketuhanan! Kalau bangsa Indonesia bangsa Ketuhanan. Mufakat? Bangsa Ketuhanan. Tulis! Tulis! Ketuhanan. Lalu bagaimana selanjutnya bangsa Indonesia?” (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988).
Selanjutnya, kelima tokoh tersebut melanjutkan dialog dengan topik peri
kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana percakapan berikut:
– “Bangsa Indonesia itu satu sama lain begitu rupa, kalau datang dikasih wedang, kalau makan diajak makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa Jawa dulu, sampai-sampai kalau sama-sama menemani.’
– ‘Kalau begitu,’ kata Bung Karno, ‘Bangsa Indonesia itu dulu bangsa yang peri kemanusiaan. Satu sama lain suka menolong. Kerjasama, perikemanusiaan.’
– Lantas kita, sama Wahid Hasyim, kita ... ‘Kemanusiaan boleh, tapi mesti yang adil. Jangan sendiri boleh, tak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. Kalau Siti Fatimah mencuri, saya potong tangannya: Siti Fatimah puteri Rasulullah. Jadi harus adil. Biar anaknya, kalau salah, ya salah. Dihukum bagaimana. Ini Islam. Ya benar, benar ini memang.
– Lantas ada lagi. Bung Karno katakan: ‘Siapa dulu ...?
– Kahar Muzakkir lontarkan: ‘Ada orang budayanya tidak mau dipersentuh tangannya dengan orang bawahan. Kalau beri apa-apa dilemparkan. Umpamanya orang bawahan, pengemis. Kasih uang, dilemparkan saja. Kalau dalam Islam tidak bisa. Di dalam Islam harus diserahkan yang baik. Jadi perikemanusiaan yang adil dan beradab. Adabnya ini tadi” (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988).
Cerita Kiai Masjkur kepada M. Dien Madjid (tim dari Arsip Nasional Republik Indonesia yang mewawancarai), berlanjut pada diskusi tentang gotong royong, musyawarah mufakat. Berikut adalah transkripsi dialog tersebut
“Lantas, sampai kepada orang Indonesia itu dulu, orang Jawa itu dulu, suka memberikan apa-apa sama tetangganya. Kalau rumah ini tak punya cabe, minta sama rumah sini, kalau tidak punya garam, minta sama rumah sini, kan begitu. Jadi orang Jawa dulu, kalau masak di rumah, minta garam pada tetangga ... ini diusulkan oleh Bung Karno ... ini namanya tolong-menolong. Gotong Royong. Lantas ada lagi, bangsa Jawa itu dulu, sampai kepada ada lima itu. Begini kalau ada apa, kumpul orang-orang desa itu. Satu sama lain tanya bagaimana baiknya begini, baiknya begini. Ini dikatakan oleh Bung Karno musyawarah. Jadi bangsa kita itu dulu suka musyawarah. Kalau mau kawinkan anaknya mufakatan, kalau mau menamakan anaknya dinamakan siapa mufakatan, yang diambil suara biasanya yang tertua. Bung Karno katakan musyawarah perwakilan. Lantas perkara orang Jawa itu dulu, diminta apa-apa, minta apa-apa dikasihkan. Sampaian minta apa, biar di sini habis, diberikan. Solidaritas sosialnya. Lalu ditanyakan kepada Islam. Islam memang zakat, kita kewajiban zakat, kita memberikan sama fakir miskin, yang kaya memberikan ke fakir miskin, jadi sampai kesimpulan lima itu” (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988).
Kesepakatan tentang lima dasar yang dikenal Pancasila itu juga diungkap oleh Kiai Masjkur, sebagai berikut:
“Kesimpulan lima tadinya mau ditambah, tapi kita umat Islam mengatakan, rukun Islam itu lima, jadi lima ini saja bisa dikembangkan satu per satu, tetapi jangan ditambah. Hitungannya supaya bisa lima. Ramai dari jam 7 malam sampai jam 4 pagi, sampai subuh. Ini dijadikan oleh Bung Karno Pancasila, menjadikan penggantinya dasar Islam negara. Kita umat Islam mengatakan kalau dasar Islam itu isimnya diambil, kalau Pancasila itu musamahnya(sic: musama) yang diambil. Sila-sila itu musamanya Islam. Lima ini kita umat Islam, ini sebagai musamanya, isi Islam, isim Islam, musamanya, Pancasila. Saya, Wahid Hasyim...” (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988).
Lalu, bagaimana sebenarnya argumentasi masing-masing kelompok tersebut? Pertanyaan ini membawa kita pada keharusan melakukan klasifikasi pemikiran tentang hubungan agama dan negara.
Sebagaimana yang lazim diketahui, dua pandangan tentang hubungan agama dan negara itu dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menginginkan Indonesia tidak berdasarkan pada agama. Masuk dalam kelompok pertama ini adalah Soekarno, Hatta, Moh. Yamin, Achmad Soebarjo, A.A Maramis. dan lain sebagainya. Kedua, kelompok yang menginginkan Indonesia berdasarkan Islam. Masuk dalam kelompok ini adalah Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, KH.Wahid Hasyim, M. Natsir, dan lain sebagainya. Tentu saja ada banyak tokoh lain, baik yang berada di kelompok pertama, maupun di kelompok kedua.
Yang akan menjadi fokus kita sekarang bukan nama-nama tokoh tersebut, tetapi bagaimana argumentasi dari masing-masing tokoh tersebut.
Kelompok Pertama: Nasionalis Sekuler
Kelompok ini memandang bahwa negara Indonesia tidak bisa didasarkan kepada agama, atau secara spesifik kepada Islam, meskipun pemeluk agama Islam di Indonesia memiliki jumlah terbanyak di antara agama-agama lain. Argumentasinya, adalah agama dan negara memiliki domain yang berbeda. Agama berkaitan dengan urusan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kebenaran absolut, bersifat suci. Sementara negara menyangkut persoalan dunia dan kemasyarakatan. Karena itulah, bagi kelompok ini, negara tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusan internal agama masingmasing, apalagi memaksakan agama kepada warga negaranya.
Sebagaimana kita tahu, Indonesia memiliki banyak agama dan kepercayaan. Karena itu, menurut pandangan kelompok ini, perlu ada satu dasar yang dapat mewadahi, menampung, dan memfasilitasi keberadaan agama dan kepercayaan di Indonesia.
Soepomo secara cerdik membedakan “negara Islam” dengan “negara berdasar atas cita-cita luhur agama Islam”. Dalam negara Islam, negara tidak dipisahkan dari agama, sehingga hukum syariat Islam yang merupakan perintah Allah juga dijadikan hukum negara. Soepomo kemudian menceritakan bahwa dalam sejumlah negara Islam seperti Mesir, Iran, dan Irak, masih muncul pertanyaan, apakah hukum syariat Islam bisa disesuaikan dengan hukum internasional atau tidak? Dalam keterangannya disebutkan, ada yang membolehkan menyesuaikan dengan hukum internasional, ada juga yang mengatakan tidak boleh.
Ini tentu berbeda dengan “negara berdasar atas cita-cita luhur agama Islam”, di mana syariat islam tidak menjadi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam suatu negara, melainkan negara mengambil spirit dan semangat dari Islam. Karena itulah, Soepomo menolak gagasan negara Islam itu. Namun demikian, bukan berarti negara kita, demikian Soepomo menjelaskan, adalah negara “a-religius”, melainkan sebuah negara yang memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur, menjaga cita-cita moral rakyat Indonesia. Budi pekerti kemanusiaan yang luhur itu juga yang dianjurkan oleh Islam.
Jika Islam menjadi dasar negara, itu sama saja dengan menjadikan Islam sebagai ideologi. Soekarno menentang hal ini. Soekarno mengagumi Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Attaturk, yang disebut Soekarno sebagai langkah modern dan revolusioner karena ia memisahkan agama dan negara.
“Agama dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri, dan tidak kepada negara,” tulis Sukarno dalam artikelnya berjudul “Apa Sebab Turki Memisahkan Antara Agama dan Negara” yang termuat dalam salah satu edisi surat kabar Pandji Islam tahun 1940.
Kelompok Kedua: Nasionalis-Islam
Sementara kelompok kedua berpandangan bahwa Islam bukan saja mencakup moral, tetapi juga berkaitan dengan sosial dan politik. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia. Lebih dari itu, dalam pandangan M. Natsir, Islam adalah agama mayoritas bangsa Indonesia sehingga Islam perlu menjadi dasar negara.
Menurut Natsir, Islam memiliki nilai-nilai sempurna bagi kehidupan bernegara dan dapat menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan dengan penuh toleransi. Bahkan, jikapun Islam tidak menjadi dasar negara, bagi Natsir tidaklah masalah, dengan catatan hukum Islam dapat diterapkan. “Negara bukanlah tujuan, melainkan hanyalah alat untuk mewujudkan ajaran-ajaran Islam,” tulis Natsir dalam Pandji Islam (15 Juli 1940).
Sejumlah argumen untuk mendukung perlunya menjadikan Islam sebagai dasar negara banyak merujuk kepada sejumlah ayat dalam al-Qur’an, sekaligus juga praktik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, terutama di Madinah.
Islam, menurut Ki Bagus Hadikusumo, mengajarkan empat perkara, yakni iman, ibadah, amal saleh, dan berjihad di jalan Allah. Apabila keempat ajaran ini diterapkan dengan sungguh-sungguh di Indonesia, kata Ki Bagus, “[...] alangkah sentosa, bahagia, makmur, dan sejahteranya negara kita ini.”
8. Rangkuman
a. Dalam sidang BPUPK, teradapat perbedaan pendapat di antara para pendiri bangsa mengenai pandangan terhadap agama dan dasar negara. Soerkarno dan Hatta setuju untuk memisahkan agama dan negara. Sementara itu, beberapa tokoh lainnya, seperti Moh. Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH. Wahid Hasyim memandang bahwa Islam harus menjadi dasar negara.
b. Perdebatan antar-pendiri bangsa tentang posisi agama Islam sebagai dasar negara, sempat berpotensi penyebab terjadinya perpecahan.
c. Bagi kelompok nasionalis-sekuler, agama dipandang sebagai permasalahan individu yang tidak dapat dijadikan patokan untuk bernegara meskipun Indonesia memiliki masyarakat muslim sebagai mayoritas.
d. Di lain sisi, kelompok nasionalis-Islam berargumentasi bahwa nilai-nilai di Islam mencakup moral, sosial, dan politik sehingga baik diterapkan di Indonesia yang kebetulan mayoritas masyarakatnya adalah muslim.
9. Refleksi
Setelah melalui proses belajar hari ini, saatnya kalian melakukan refleksi terhadap diri sendiri dengan mengisi Tabel Refleksi 3-2-1 di bawah ini:
10. Uji Pemahaman
a. Apakah yang menjadi persamaan pemikiran para pendiri bangsa mengenai dasar negara Indonesia?
b. Apakah yang menjadi perbedaan cara pandang para pendiri bangsa mengenai dasar negara Indonesia?
c. Bagaimana kaitan antara agama dan negara dalam penentuan dasar negara Indonesia?
d. Bagaimana argumentasi para pendiri bangsa untuk menempatkan ajaran syariat Islam sebagai bagian dari dasar negara?
e. Apa yang menjadi alasan kuat untuk tidak menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara Indonesia?
f. Pesan moral apa yang dapat kalian gali dari perdebatan panjang para pendiri bangsa, sampai akhirnya menuju pada satu kesepakatan Pancasila yang kita kenal sampai saat ini?