Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab kalām insyā’ dan qaṣr, siswa diharapkan mampu:
1. Menganalisis konsep, bentuk, makna dan fungsi kalām insyā’ dalam sebuah wacana sesuai konteks.
2. Menganalisis konsep, bentuk, makna dan fungsi qaṣr dalam sebuah wacana sesuai konteks.
3. Menyajikan hasil analisis konsep, bentuk, makna dan fungsi kalām insyā’ dalam kalimat sesuai dengan konteks.
4. Menyajikan hasil analisis konsep, bentuk, makna dan fungsi dan qaṣr dalam kalimat sesuai dengan konteks.
Penghantar Materi
Dalam bahasa Indonesia, al-insyā’ biasa disebut dengan istilah ‘kalimat bukan berita. Dalam bab ini akan kita bahas beberapa macam kalimat bukan berita tersebut, diantaranya: kalimat perintah, larangan, panggilan, kalimat tanya, dan lain sebagainya.
A. KALĀM INSYĀ’
1. Pengertian Kalām Insyā’
Insyā’ adalah kebalikan kalām khabari, adalah kalimat yang apabila setelah dituturkan tidak bisa kita menilai benar atau ketidakbenarannya.
2. Macam-macam Kalām Insyā’
Ada dua jenis kalām insyā’, yaitu ṭalabĭ dan ghairi ṭalabĭ. Agar kalian memahaminya, mari kita perhatikan contoh-contoh berikut!
3. Insyā’ Ṭalabĭ
Penjelasan
Bila kita perhatikan contoh-contoh No.(1 s.d. 4), kita akan dapatkan bahwa masing-masing kalimat mengandung redaksi untuk menuntut terjadinya sesuatu yang waktu itu belum terjadi dengan tuntutan yang bersifat tekanan dan keharusan.
Apabila kita perhatikan lebih lanjut, kita dapatkan bahwa pihak yang menuntut itu lebih tinggi kedudukannya daripada orang yang dituntut mengerjakan pekerjaan yang dimaksud. Yang demikian adalah amr (kata perintah) yang hakiki. Dan bila kita perhatikan redaksi-redaksinya, maka tidak lepas dari empat redaksi berikut : fi’il amr seperti pada contoh No. (1), fi’il muḍāri’ yang didahului dengan lām amr seperti contoh No. (2), ism fi’il amr seperti contoh No. (3), dan maṣdar yang menggantikan fi’il amr seperti contoh No. (4).
Sedangkan bila kita perhatikan contoh-contoh mulai No. (5 s.d.10) semua amr (kata perintah) tidak digunakan dalam maknanya yang hakiki, yaitu menuntut suatu pekerjaan oleh pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah sebagai suatu keharusan, melainkan masing-masing menunjukkan makna tersendiri yang dapat kita ketahui melalui susunan kalimatnya dan situasi serta kondisi yang berkaitan.
Contoh No. (5) fi’il amr yang digunakan bukan bermakna tuntutan dari pihak yang lebih tinggi ke pihak yang lebih rendah, tetapi fi’il amrnya bermakna ‘berdoa dan memohon’, adalah tuntutan melaksanakan sesuatu pekerjaan dari pihak yang lebih rendah derajatnya kepada pihak yang lebih tinggi.
Sedangkan contoh No. (6), kalimat tersebut merupakan ucapan seseorang kepada teman sebayanya untuk memberikan kitab kepadanya, ini adalah tuntutan secara halus (iltimās).
Perhatikan contoh No. (7), Imru’u al-Qais pada contoh tersebut juga tidak memerintah malam untuk melakukan sesuatu karena malam itu tidak mendengar dan tidak akan melaksanakan perintah. Kalimat perintah yang ia ucapkan tidak lain dimaksudkan sebagai tamannĭ (harapan yang sulit terpenuhi atau pengandaian).
Bila kita perhatikan contoh-contoh lainnya dan kita pahami susunan kalimatnya serta kita kupas qarĭnah-qarĭnah yang berkaitan dengannya, maka kita dapatkan bahwa semua redaksi amrnya tidaklah dimaksudkan untuk maknanya yang asli, melainkan untuk menunjukkan maksud mengancam (tahdĭd), melemahkan lawan bicara (ta’jĭz), maksud penyamaan (taswiyah), karena melakukan dan tidak melakukan isi perintah tidak ada bedanya.
2). Nahyu
PENJELASAN
Bila kita perhatikan contoh-contoh di No. (1), kita mendapati semuanya berupa redaksi untuk melarang dilakukannya sesuatu perbuatan.
Dan apabila kita perhatikan lebih jauh, maka yang melarang itu derajatnya lebih tinggi daripada yang dilarang, karena pelarangannya pada contoh-contoh bagian pertama ini adalah Allah Swt., sedangkan yang dilarang adalah hamba hamba-Nya. Larangan seperti contoh-contoh tersebut adalah larangan yang hakiki.
Bila kita perhatikan, redaksi larangannya pada masing-masing contoh
di atas adalah sama, yakni fi’il muḍāri’’ didahului dengan lā naāhiyah ).(لا
Selanjutnya perhatikan contoh-contoh No. (1 s.d. 7)! kita dapatkan seluruhnya tidak digunakan untuk makna larangan yang hakiki, melainkan menunjukkan makna lain yang dapat kita pahami berdasarkan susunan kalimat dan kondisi serta situasinya.
Contoh No. (2) merupakan larangan dengan maksud memohon, permintaan Nabi Harun as. kepada nabi Musa as.
Syair yang didendangkan oleh orang yang sedang kasmaran pada contoh No. (3) adalah larangan yang mempunyai makna pengandaian, karena selalu malam itu tidak mungkin; waktu berhenti juga tidak mungkin. Segala yang tidak mungkin akan menjadi ‘pengandaian’.
Ucapan seorang atasan pada bawahan pada contoh No. (4) di atas, tidak bisa dimaknai sebagai larangan yang hakiki, sebenarnya maksud yang dikehendaki adalah, “kalau sungguh kau tidak menaati perintahku, kupecat kau”. Ini adalah larangan yang bermakna ancaman.
Contoh terakhir, No (5) dan No. (6) bermakna nasehat, dan penghinaan.
3) Istifhām
PENJELASAN
Semua kalimat di atas menunjukkan pertanyaan, yaitu-sebagaimana kita ketahui-mencari tahu tentang sesuatu yang sebelumnya belum diketahui.
Semua contoh pada No (1 s.d. 6) semuanya menggunakan adawāt istifhām (kata tanya), semua menanyakan dengan sebenarnya, untuk memperoleh jawaban, yang belum diketahui informasinya sebelumnya dan semuanya membutuhkan jawaban.
Terkadang redaksi istifhām itu keluar dari makna aslinya kepada makna lain yang dapat diketahui melalui susunan kalimat dan siyāq kalām.
Untuk contoh-contoh No (7 s.d. 13) adawāt istifhām tidak digunakan untuk menanyakan sesuatu, tidak membutuhkan jawaban, tetapi disana ada makna yang bisa kamu pahami dari siyāq kalām.
Perhatikan contoh No (7)!, kita dapatkan kata tanya tidak bermakna menanyakan secara hakiki, tetapi maknanya adalah menyamakan (taswiyah).
Sedangkan makna ‘hal’ pada contoh No. (8) tidak bermakna menanyakan sesuatu yang membutuhkan jawaban, tetapi, ayat tersebut menyatakan bahwa kebaikan yang kita lakukan akan ada balasan kebaikan pula (nafyu).
Ayat pada No (9) adalah pengingkaran kepada orang-orang yang berdoa selain kepada Allah. Jadi istifham pada ayat tersebut bermakna ‘inkār’
Sedangkan pada contoh ayat No. (11) adalah perintah untuk menghentikan perbuatan meminum khamr. ‘Hal’ di sini tidak bermakna ‘apakah’.
Begitu juga istifhām pada contoh No. (12) tidak bermakna menanyakan secara hakiki, tetapi mempunyai arti ‘memancing kerinduan (tasywĭq) sehingga pendengar merindukan pesan yang akan disampaikan. Dan contoh terakhir bermakna ‘mengagungkan’.
4) Nidā‘
Bila kita menghendaki orang lain menghadap kepada kita, maka kita harus memanggilnya dengan menyebut namanya, salah satu sifatnya setelah menyebutkan huruf pengganti lafal ad’ū’ (aku memanggil) dengan nidā‘ (seruan).
Dalam keaadaan normal, kita memanggil dengan huruf-huruf nidā‘ yang ada di tabel berikut :
Tetapi terkadang huruf-huruf nidā‘ tidak diberlakukan sesuai aturan semula. Perhatikan contoh-contoh berikut :
PENJELASAN
Kadang kala, yang berjarak jauh diposisikan seperti berjarak dekat sehingga berhuruf nida ( )أdan ( )أ ْيsebagai isyarat bahwa pembicara sangat menginginkan kehadiran lawan bicara di dekatnya. Seperti ucapan seorang penyair di atas pada No. (1).
Dan terkadang juga, yang berjarak dekat ditempatkan seperti berjarak jauh. Sehingga berhuruf nida’ yang digunakan untuk panggilan jarak jauh. Hal ini mengisyaratkan tiga hal :
a. Menunjukkan betapa tinggi dan terhormatnya kedudukan lawan bicara, seakan-akan derajat orang yang dipanggil jauh lebih tinggi dari derajat yang memanggil, seperti apabila kedua berjauhan. Seperti ketika kamu memanggil orang disampingmu (contoh No. 2).
b. Apabila kedudukan lawan bicaramu lebih rendah darimu, seperti ketika kamu memanggil pelayanmu yang sedang berada di dekatmu (Contoh No. 3).
c. Apabila lawan bicara atau orang yang dipanggil; sedang lalai sehingga terkesan dirinya seolah-olah tidak hadir di tempat. Seperti ketika kamu memanggil orang tertidur atau lalai di sampingmu (Contoh No. 4).
Kadang-kadang bahkan kalimat nidā‘ itu keluar dari maknanya yang asli – yakni menghendaki menghadapnya seseorang-kepada makna lain. Hal ini dapat diketahui melalui qarĭnah-qarĭnah nya. Di antara makna lain tersebut adalah :
5) Tamannĭ
PEMBAHASAN
Semua contoh di atas termasuk insyā’ ṭalabĭ. Bila kita perhatikan sesuatu yang ingin diraih pada setiap kalimat adalah sesuatu yang menyenangkan, namun tidak bisa diharapkan keberhasilannya, adakalnya karena memang mustahil dicapai, seperti pada contoh No. (1,2, 3, dan 4). Adakalanya perkara itu mungkin tercapai namun tidak bisa diharapkan tercapainaya, seperti contoh No. (4). Kalām insyā’ yang demikian disebut ‘tamannĭ”.
B. QAṢR DAN MACAM-MACAMNYA
PENJELASAN
Bila kita perhatikan contoh-contoh di atas, kita dapatkan bahwa masing-masing contoh mengandung pengkhususan suatu perkara pada perkara yang lain.
Kalau kita perhatikan contoh No. (3) dan No. (4) sama dengan contoh No. (1) dan No. (2), yakni pemfokusannya dengan mendahulukan yang dianggap penting, asalnya adalah ‘al-maṣĭr ilā Allāh’ dan ‘nasta’ĭnuka’. Akan tetapi dua contoh ini bisa dibedakan dari segi maknanya, Contoh No. (3) adalah pemfokusan hakiki, sebenarnya, mutlak. Berbeda dengan pemfokusan yang terdapat pada contoh No. (4) adalah pemfokusan secara iḍāfĭ (atau bisa disebut pemfokusan majāzĭ). Karena ‘hanya kepada-Mu saya minta tolong (iyyāk nasta’ĭn)’ bukan makna sebenarnya (makna kiasan). Karena – sebagaimana pendapat mufassirin – di sini berkaitan dengan pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga manusia sendiri, sedangkan dalam hal melakukan pekerjaan lainnya justru manusia diharuskan untuk saling menolong.
Kalau kita perhatikan contoh No. (1 s.d. 4), cara pemfokusannya dengan
mendahulukan yang dianggap penting (taqdĭm), sedangkan contoh No. (5) dan No. (6) pemfokusannya dengan cara meletakkan ḍamĭr (kata ganti) di antara mubtada’ dan khabar yang ma’rifah (diawali al), digunakan untuk memberikan pemfokusan pada mubtadā’’.
Kalau kita perhatikan contoh No. (7) dan No. (8) cara pemfokusannya dengan menggunakan adawāt al-qaṣr , yaitu ‘innamā ‘ dan adawāt nafy + illā.
RANGKUMAN
1. Insyā’ adalah kebalikan kalām khabari : adalah kalimat yang apabila setelah dituturkan tidak bisa kita menilai benar atau ketidak benarannya.
2. Kalām insyā’ itu ada dua macam :
a. Ṭalabĭ : adalah kalimat yang menghendaki terjadinya sesuatu yang belum terjadi pada waktu kalimat itu diucapkan. Kalām jenis ini ada yang berupa amr (kata perintah), nahyu (kata larangan), istifhām (kata tanya), tamannĭ (kata untuk menyatakan harapan terhadap sesuatu yang sulit terwujud), dan nidā‘ (kata seru).
b. Ghairi ṭalabĭ : adalah kalimat yang tidak menghendaki terjadinya sesuatu. Kalām jenis ini banyak bentuknya, antara lain ta’ajjub (kata untuk menyatakan pujian), ẓamm (kata untuk menyatakan celaan), qasam (sumpah), kata-kata yang diawali dengan af’āl ar-rajā’, dan kata-kata yang mengandung makna akad (transaksi).
3. Amr ialah tuntutan melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi derajatnya kepada pihak yang lebih rendah. Ada empat bentuk redaksi amr:
a. Fi’il amr (kata kerja perintah).
b. Fi’il muḍāri’’ yang didahului lām amr (lām yang bermakna perintah).
c. Ism fi’il (kata ism yang memiliki arti fi’il amr).
d. Bentuk maṣdar yang posisinya menggantikan fi’ilnya yang telah dibuang
4. Terkadang redaksi amr tidak digunakan untuk maknanya yang asli, melainkan kepada makna lain. Hal ini dapat diketahui melalui susunan kalimat.
5. Makna lain amr selain maknanya yang hakiki adalah: untuk berdoa’ dan memohon, tuntutan secara halus (iltimās), tamannĭ (harapan yang sulit terpenuhi atau pengandaian), mengancam (tahdĭd), melemahkan lawan bicara (ta’jĭ), maksud penyamaan (taswiyah).
6. Nahyu adalah tuntutan untuk tidak melakukan sesuatu yang datang dari pihak yang lebih tinggi derajatnya kepada pihak yang lebih rendah. Nahyu hanya memiliki satu ṣĭgah (bentuk redaksi) : fi’il muḍāri’’ yang didahului lā nāhiyah (lā yang bermakna ‘jangan’).
7. Kadang-kadang redaksi nahyu keluar dari maknanya yang hakiki dan menunjukkan makna lain yang dapat dipahami dari susunan kalimat serta kondisi dan situasinya, diantaranya: bermakna memohon (doa), pengandaian, ancaman, nasehat, dan penghinaan
8. Istifhām adalah kalimat yang bertujuan untuk mendapatkan informasi sesuatu yang belum diketahui sebelumnya menggunakan adawāt istifhām.
9. Uslūb istifhām yang keluar dari istifhām sebenarnya mempunyai beberapa maksud/makna, bisa kita ketahuai dari siyāq kalām. Seperti: menyamakan (taswiyyah), meniadakan (nafyu), mengingkari (inkār), memberi perintah (amr), memancing kerinduan (tasywĭq), mengagungkan (ta’ẓĭm), dan merendahkan (tahqĭr)
13. Terkadang yang berjarak dekat ditempatkan seperti berjarak jauh. Sehingga berhuruf nidā‘ yang digunakan untuk panggilan jarak jauh. Hal ini mengisyaratkan tiga hal:
a. Menunjukkan betapa tinggi dan terhormatnya kedudukan lawan bicara, seakanakan derajat orang yang dipanggil jauh lebih tinggi dari derajat yang memanggil, persis apabila kedua berjauhan.
b. Apabila kedudukan lawan bicaramu lebih rendah darimu, seperti ketika kamu memanggil pelayanmu yang sedang berada di dekatmu.
c. Apabila lawan bicara atau orang yang dipangggil sedang lalai sehingga terkesan dirinya seolah-olah tidak hadir di tempat.
14. Bahkan Kadang-kadang kalimat nidā‘ itu keluar dari maknanya yang asli-yakni menghendaki menghadapnya seseorang- kepada makna lain. Hal ini dapat diketahui melalui qarĭnah-qarĭnahnya. Di antara makna lain tersebut adalah: teguran atau peringatan keras, menampakkkan keresahan dan kesakitan, dan anjuran.
15. Tamannĭ adalah menuntut sesuatu yang disuka, tetapi tidak bisa diharapkan terjadi, karena memang mustahil. Kalaupun bisa terjadi, kemungkinannya sangat kecil.
16. Kata-kata yang dipergunakan untuk tamannĭ adalah ‘laita’, dan kadang-kadang dipakai juga kata-kata ‘hal, lau, dan la’alla’ atas dasar tujuan balāgah.
17. Bila perkara yang menyenangkan itu dapat diharapkan tercapainya, maka pengharapannya disebut ‘tarajjĭ’. Kata yang digunakan untuk makna ‘tarajjĭ’ adalah ‘la’alla dan ‘asā’. Kadang-kadang dipakai juga kata ‘laita’ atas dasar pertimbangan
makna balāgah.
18. Qaṣr bermakna pemfokusan, yakni usaha penonjolan, penegasan, atau penekanan pada salah satu unsur atau bagian kalimat yang dianggap lebih penting. Atau mengistimewakan sesuatu melebihi yang lain dengan jalan tertentu.
19. Macam-Macam Cara Qaṣr :
20. Jenis-jenis Qaṣr :
a. Qaṣr haqĭqĭ: adalah pemfokusan hakiki, sebenarnya, mutlak.
b. Qaṣr iḍāfĭ: adalah pemfokusan relatif, bukan sebenarnya, bersifat kiasan. Bisa disebut qaṣr majāzĭ.
LATIHAN
1. Apa yang dimaksud amr?
2. Ada beberapa redaksi amr, sebutkan!
3. Selain bertujuan sebagai kata perintah, amr mempunyai beberapa tujuan, sebutkan!
4. Jelaskan ṣĭgah (redaksi) amr dan jelaskan tujuannya!